Anak Belum Bisa Berjalan, Tak Selalu karena Perbedaan

Dok. PribadiCemas, khawatir, takut… Itulah yang kurasakan sebagai seorang ibu ketika anakku belum bisa berjalan diusia 14 bulan. Hampir semua orang, termasuk suamiku selalu menjawab itu wajar karena perkembangan anak beda-beda. Tapi aku nggak puas dengan jawaban itu.

Kami sudah mencoba cara tradisional ke tukang urut bayi di kawasan Pondok Labu atas saran tetangga. Antreannya panjang lho. Datang jam 5 subuh aja dah ngantre. Trus pas dipijat cuma sebentar. Pulang dikasih oleh-oleh minyak dan air .

Setiap pijat saya bertanya kenapa anak saya belum bisa jalan dan duduk sempurna. Jawaban si tukang urut sama, nanti juga bisa.

Aku bingung, hanya kakakku yang sehari-hari bekerja sebagai fisioterapis mengingatkanku untuk tak cuek. Jangan sampai menyesal apabila kenyataannya memang ada masalah di anakku. Dia yang menganjurkan agar anakku diterapi. Sampai ia membuat janji dengan temannya agar kami datang menerapi buah hatiku.

Scan Otak

Setelah mencoba terapi ke tempat teman kakakku, kami memilih mendatangi dokter syaraf di RSIA di kawasan Jatinegara. Padahal kami tinggal bersama orangtua di Ciputat.

Di sana anakku diperiksa namun tak ada masalah. Untuk tahu lebih jelasnya dokter menganjurkan CT Scan. Dia merujuk salah satu RS yang melakukam scan tanpa bius total ke anak, hanya minum obat tidur.

Alhasil, saya dan suami setuju demi mendapat kejelasan. Untuk CT scan bukan hal yang mudah. Anakku tak kunjung tidur. Padahal sudah nyusu, dikelonin, masih aja lincah. Hingga pada suatu waktu anakku tertidur.

Saat itulah waktunya anakku discan. Badan anakku diikat dan masuklah ia ke alat seperti terowongan. Pemeriksaannya memang sebentar, tapi proses supaya anak tidur yang cukup lama.

Biaya CT scan yang berwarna saat itu cukup lumayan, sekitar Rp800 ribuan. Tapi demi anak iya aja. Untung lagi ada rezeki.

Kami pulang berbekal hasil CTscan yang bisa diambil hari itu juga. Hanya menunggu berapa jam.

Beberapa hari kemudian, kami kembali ke dokter tersebut dengan memperlihatkan hasil scan. Setelah dibaca, dokter mengatakan tak ada masalah. Ia kemudian meresepkam vitamin.

Usaha kami tak cukup di situ. Saya tak puas dengan hasilnya. Kami pun mendatangi dokter tumbuh kembang anak. Dialah yang meminta kami menerapi anak kami.

Terapi Dimulai

Kami membuat janji dengan terapisnya. Tak tega rasanya saat melihat buah hatiku diterapi. Ia seperti kesakitan. Terapisnya pelan-pelan mengajari putra kami. Tapi tangisannya terus saja terdengar.

Ada sekitar tiga kali pertemuan, tapi saya semakin nggak tega. Sebenarnya ART yang bekerja di rumah sudah memberitahu kalau tetangga nganjurin ke tukang pijat di Ciputat. Tapi aku menolaknya. karena takut kecewa lagi.
Dok. Pribadi
Tapi setelah dipikir-pikir tak ada salahnya mencoba. Tetangga itu memberikan nomor telepon ibu pemijat. Kami pun janjian untuk datang ke rumahnya.

Di sana si jagoan cilik teriak tak tanggung-tanggung. Kata ibu pijat, ada yang salah pada saraf di pinggulnya. Kalau nggak salah, sarafnya itu bergerombol sehingga memperlambat pertumbuhannya. Menurutnya kalau dibiarkan sampai usia dua tahun kemungkinan anakku tak bisa berjalan.

Aku kaget dan lemas. Berharap anakku bisa berjalan dan berlari seperti anak-anak lainnya. Si ibu pijat mulai memijat bokong anakku. Katanya dia berusaha membalikkan ke tempat semula. Tapi itu semua butuh proses sehingga sebisa mungkin rutin pijat.

Setiap pijat, anakku menangis kencang seakan sakitnya luar biasa. Tapi perlahan-lahan terlihat perubahan pada anakku. Dia mulai berani berdiri dan pegangan. Saat usianya 16 bulan, ia pun bisa berjalan. Saat itu ia sedang bermain gitar-gitaran dan tanpa berpegangan ke meja atau kursi, ia mulai berjalan.

Terapi yang sempat berhenti kulanjutkan dan ternyata berkembang pesat. Memang saat itu belum kuat betul, tapi aku yakin anakku pasti bisa berlari dan melompat seperti anak-anak lain.

Pijat yang menyakitkan itu ternyata meninggalkan trauma. Anakku hingga kini takut dipijat. Tapi, aku sangat bersyukur Allah SWT memberikan jalan sehingga anakku bisa berjalan.
Dari pengalaman itu, aku memetik pelajaran jangan mengabaikan apa yang kita curigai. Meski pertumbuhan anak beda-beda kita sebagai orangtua juga harus jeli.