Yang Bikin Seorang Ibu Galau ‘Resign’ Apa Nggak

Tepat 27 Februari 2015 saya resmi menjadi Full Time Mommy (FTM). Bahagianya nggak ketulungan. Tapi, pastinya ada sedihnya. Dan proses sampai ‘ketok palu’ itu juga harus melalui kegalauan yang panjang.

Saya sedih karena harus meninggalkan teman-teman yang menyenangkan. Tapi hubungan pertemanan bisa terus berlanjut meski tak harus bertatap muka.

Kira-kira enam tahun yang lalu saya juga mengalaminya. Saya memutuskan berhenti dari pekerjaan setelah menikah dengan teman satu kantor (bukan semua teman di kantor ya). Tapi, perasaannya lebih berbeda karena dulu saya sering di lapangan jadi beratnya ninggalin teman di lapangan. Sementara di perusahaan ini saya sehari-hari di kantor saja.

Teman selalu bertanya, nggak takut bosan di rumah saja? Biasanya pegang uang sendiri, nah sekarang nggak lagi. Dulu, saya memang merasakannya. Sehari-hari suntuknya minta ampun, padahal sudah punya anak satu. Inginnya saat anak sudah gede, saya kembali melihat dunia luar. Tapi, kali ini saya berharap suntuk itu tak menghampiri dengan dua anak yang lucu dan sehat, amin.

Sejujurnya sebelum memilih menjadi FTM pasti banyak pertimbangan yang saya pikirkan. Apalagi kalau bukan pemasukan keluarga yang berkurang, tapi hidup harus memilih. Galaunya saya sampai ampun-ampunan. Pikiran saya ‘resign’ atau ‘lanjut’. Sampai akhirnya Yang Maha Kuasa menunjukkan jalan dan meyakinkan ‘Inilah yang harus saya pilih’.

Saya setuju dengan omongan mantan bos saya bahwa di satu titik wanita berkeluarga yang pekerja akan memilih untuk berhenti bekerja demi anak-anaknya. Berbeda dengan pria yang ditakdirkan untuk mencari nafkah.

Kalau saya pribadi ini yang membuat saya maju mundur untuk berhenti bekerja. Pastinya ibu-ibu yang lain pemikirannya bisa berbeda-beda:

1. Pemasukan

Hidup memang butuh biaya, apalagi anak makin gede keperluan pun makin banyak. Belum lagi cicilan sana sini akibat jadi kontraktor. Saya memahami dilema yang pasti banyak dirasakan para ibu lainnya.

Tapi, kalau anak saya nggak ada yang ngurus bagaimana? Nggak mungkin saya selalu meminta kedua ibu saya membantu mengurus anak-anak.

Ketika melihat badan ibu saya mengurus saja, saya jadi merasa bersalah. Mungkinkah ini karena lelah menjaga anak-anak saya setiap hari? Hiksss…

Kata orangtua, rezeki bisa datang dari mana saja asal mau berusaha. Satu pintu tertutup, bukan berarti pintu lain juga. Yang penting terus berusaha dan berdoa. Teman saya berkata yakinlah rezeki pasti akan datang jika niat kita mulia.

2. Kehilangan teman

Saat bekerja setiap hari hidup di kelilingi teman. Mengobrol, bersenda gurau, dan berbagi bisa menghilangkan kepenatan dengan tekanan pekerjaan di kantor. Tapi, teman kan bisa dari mana saja. Ibu-ibu tetangga yang baik hati juga teman. Bedanya saja hanya lokasi dan kondisi.

Anak lebih membutuhkanku sedangkan pertemanan bisa berlanjut di media sosial atau kontak-kontakan via gadget. Sekarang dunia makin canggih. Komunikasi bisa lewat apa saja.

3. Gaji habis buat ongkos

Istilah ini yang saya pakai. Jakarta macetnya amit-amit. Kalau rumah jauh gini sampai beda provinsi itu habis diongkos. Berangkat subuh, pulang malem-malem dan gonta-ganti angkot berapa kali itu. Belum lagi kalau ada telepon dede bayi nangis kejer, saya harus cari ojek yang ongkosnya lumayan.

Pikiran saya, kalau di rumah saya paling capeknya ngurus rumah dan anak. Nggak perlu repot-repot berangkat pagi-pagi pulang malem lagi.

4. Stres

Nggak cuma berat diongkos, tapi berangkat kerja pagi-pagi bikin stres gara-gara macet dan kepikiran anak yang mencari mamanya, hehe…

Cuti enam bulan yang saya dapatkan usai melahirkan membuat saya merasa nyaman di rumah. Selama itu saya nggak ketemu macet di hari kerja atau buru-buru pulang agar nggak kemalaman sampai di rumah. Tapi, setelah masuk stres itu datang lagi. Kepala cenat cenut, detak jantung lebih cepat, dan badan terasa beda. Saya nggak mau jadi penyakitan hanya karena stres setiap hari.

5. Asisten Rumah Tangga

Ini nih, kendala terberat. Nyari ART nggak segampang balikin tangan. Jarang yang mau ngurus anak dan kasus-kasus ART yang jahat bikin kita harus pintar memilih. Kalau dibilang nemenin neneknya buat bantu-bantu baru mau. Maklum, saya belum sanggup untuk hire baby sitter.

Sekarang ini calon ART yang lebih banyak requestnya dibanding calon majikannya. Belum juga kerja, maunya ini itu. Dan sebalnya kalau cuma sebulan dua bulan kerja. Kalau ART mudik, mau nggak mau izin nggak kerja. Keseringan izin kan jadi nggak enak.

Setelah ditimbang-timbang, memang jadi ibu rumah tangga yang harus saya ambil. Hidup itu harus memilih dan siapa yang tahu yang terbaik untuk diri kita ya kita sendiri. Semoga ini yang terbaik dan rezeki tetap mengalir, amin….