Belajarnya Anak Kinestetik dengan Gerakan

  
Sabtu ini hari pertama kami ikut pertemuan orangtua murid di SD baru kakak. Yah, tentu banyak pesan-pesan yang kami dapat dari sekolah. Selain itu, ada sesi konsultasi hasil psikotes anak dan dari situ saya tahu bagaimana cara belajar anak kinestetik seperti kakak.

Tanpa bermodalkan hasil psikotes, saya pede saja ikut konsultasi. Hasil psikotes yang harusnya jadi rujukan, kebawa suami yang buru-buru pulang karena harus kerja. Baiklah, saya hanya berbekal ingatan saja. Untung tadi saya sempat melihat walau yang saya ingat poin yang nilainya kurang apa saja, yakni kemampuan konsentrasi jangka panjang dan emosian

Di situ mas-mas psikolog yang masih muda menjelaskan dengan sok tegas. Saya lihat ada cincin di jari manis kirinya, berarti dia belum nikah dunk. Apa hubungannya coba. Semoga mas-mas ini kasih konseling nggak hanya berdasarkan teori saja.

Ini beberapa catatan yang saya ingat dari hasil konseling:

1. Belajar diiringi musik

Saya memulai pertanyaan tentang kekurangan anak saya. Beliau menanyakan anak saya suka apa saja. Saya bilang dia suka cerita-cerita sendiri. Apa itu yang kayak Om Butet, monolog ya 😀 semua peran disabet anak saya, dari mulai sopir, penumpang, sampai polisi. Yang jelas anak sukanya bergaya nyetir saat main drama sendiri, hehe… itu drama bisa berjam-jam betah. Tapi, pas giliran belajar iqra beuh…15 menit alhamdulillah.

Terus , mas psikolog kasih saran coba nyalakan musik kalau mengajak anak belajar. Saya donk langsung intrupsi, “Anak saya klo denger musik malah ikut nyanyi om”. Si mas psikolog jawab musik instrumen saja.

Baiklah saya coba nanti…

2. Jangan biarkan anak sobek kertas

Ada cara lain lagi? Mas psikolog menyarankan, kalau nggak mempan coba biarkan anak menulis di kertas atau karton saat belajar. Misalnya iqra, tulis alif dalam bacaan dan huruf di sisi yang berbeda.

Menurutnya anak saya tipe kinestetik, yang gaya belajar melalui kegiatan fisik, gerakan, atau olah tubuh. Jadi kayaknya percuma klo saya ngoceh saja, malah saya yang capek sendiri.

Om psikolog juga bilang, biasanya anak tipe anak saya suka menggambar dan menulis. Kalau cara itu yang membuatnya cepat belajar, saya disarankan sediakan kertas HVS satu rim. Jadi sehari dijatah berapa untuk dipakai untuk coret-coret belajar.

“Jangan ajarkan di kertas buku yang disobek-sobek ,” kata pak psikolog.

Saya protes donk, bukannya menyobek-nyobek untuk melatih motoriknya. Kata beliau membiarkan anak menyobek mengajarkan dia merusak. Saya cuma bilang ‘Ooo’.

Memang, anak kinestetis bakal mudah menghafal jika badannya ikut bergerak, misalnya menggerakkan mulutnya, menulis ulang hafalannya, atau mendengarkan materi hafalan dengan berjingkrakan. Ehm…

Setelah itu, saya beralih ke kekurangan yang kedua yakni emosian

3. Anak cermin orangtua

Saya memang masih suka nggak sabaran dan suka bernada tinggi kalau sudah emosi. Kalau anak juga melakukan seperti itu, berarti dia mencontoh saya. Waduh…

Kata suami, anak keluar dari mulut singa (mbak yang dulu) eh malah masuk mulut harimau (saya) karena sama-sama galak. Nggak enak banget perumpamaannya yaa 🙁

Dulu saya masih bisa sabar dan yang nggak sabaran mbaknya. Sekarang selama di rumah saya malah menjadi nggak sabaran. Si mas psikolog menyarankan saya untuk menguranginya dengan melakukan pekerjaan yang saya sukai.

Saya langsung jawab, ‘saya suka nulis’. Tapi belum saya lanjutin dia malah bilang bagus coba saja bikin buku. Maksud saya, saya mau bilang lagi, saya suka menulis blog, hehehe.. nulis seadanya, belum seperti penulis-penulis hebat.

4. Berhenti bekerja saat anak ajak main

Biar saya bisa belajar sabar, saya harus melakukan hal yang membuat saya senang. Kalau menulis, saat senggang cobalah menulis. Tapi, ketika anak mengajak bermain berhentilah dari aktivitas tersebut dan bermain bersama anak.

5. Jangan menghindar saat marah

Ini bener, saya bingung. Ada yang bilang menghindari anak saat kita kesal agar anak nggak kena semprot ortunya. Tapi, kata si mas psikolog jangan karena akan membuat orangtua dan anak jauh. Saya nggak konsen untuk penjelasan yang satu ini karena udah banyak ibu yang ngantre, hahahaha…

Mas psikolog juga bilang, bertindaklah sebagai teman, bukan orangtua. Membentak anak nggak ada gunanya. Ajak anak seperti teman mengajaknya, bukan memerintah seperti yang dilakukan kebanyakan orangtua.

6. Konsisten berikan hukuman

Ya, saya masih suka mencla-mencle saat berikan hukuman. Itulah yang membuat anak jadi nggak mendengarkan omongan saya. Saya mengeluh ke mas psikolog, kenapa saya harus bicara keras dlu baru didengar anak.

Si mas psikolog berbalik tanya, ‘ibu menerapkan hukuman ke anak’. Saya jawab iya. Terus beliau bilang, harus konsisten. Jangan hukuman belum berakhir sudah dikorting saja. Kalau nggak konsisten anak-anak jadi nggak disiplin.

7. Belajar lebih maju

Mas psikolog menyarankan, ajarkan anak-anak untuk belajar di rumah. Ia mencontohkan, kalau di sekolah belajar halaman 1, anak-anak di rumah belajarnya halaman 2. Jadi selangkah lebih maju, bukan mengulangi pelajaran yang di sekolah. Masa iya? 😀

Apa itu Kecerdasan Kinestetik

Anak tipe kinestetik kerap dicap nakal. Anak tipe ini memang sulit diam, mereka maunya bergerak terus karena mereka belajar dengan gerakan dan olah tubuh.

Jangan bersedih, anak kinestetik suka aktivitas yang melibatkan motorik halus dan kasar.

Kalau dari Republika, area kecerdasan kinestetik terletak pada cerebellum dan thalamus, ganglion utama dan bagian otak yang lain. Korteks motor otak mengendalikan gerakan tubuh. Orang-orang dengan kecerdasan ini menunjukkan keterampilan menggunakan jari atau motorik halus.

Anak tipe ini gemar mengulik, mencari tahu bagaimana cara kerja sesuatu. Tak memerlukan penjelasan orang lain atau membaca manual.

Umumnya, anak dengan kecerdasan kinestetik ini melahirkan olahragawan, ilmuwan, penulis, artis, musisi, penari, dan tenaga kreatif lain yang memungkinkan otak dan tangan mereka bergerak tanpa mengikuti format baku.

Kalau orangtua melihat anak yang susah diam, jangan buru-buru cap nakal.

“Masyarakat kerap menganggap kinestetika sebagai hiperaktivitas ketimbang suatu kecerdasan. Akibatnya, kecerdasan ini jarang dihargai. Padahal bila mereka diarahkan dan dikembangkan untuk membuka potensi tertinggi, bukan tidak mungkin akan terlahir, Lionel Messi, Tiger Wood, Michael Jordan atau Rafael Nadal masa depan,” tulis Republika.

Sayangnya, anak-anak tipe ini gerakannya sering dibatasi orangtua dan guru. Padahal, anak yang cerdas fisik membutuhkan kebebasan tanpa selalu mengikuti pola yang sudah dirancang

Ilmu baru, bismillah akan saya pelajari lagi.

Posted from WordPress for Android