Sah Jadi IRT itu Membahagiakan

Akhirnya keinginan menjadi ibu rumah tangga (IRT)) tercapai. Stres dan omelan-omelan yang kerap datang di pagi hari itu pergi.

Lima tahun lalu saya pernah menjadi IRT dengan anak satu yang masih bayi. Kerjaan saya sering mengomel seakan stres. Sebelum menikah, saya memang bekerja. Dan pekerjaan itu membuat saya enjoy karena selain menambah ilmu, saya bertemu banyak teman dan bisa tertawa riang. Tapi, di rumah membuat saya bosan meski ada anak.

Padahal, sebelum menikah tekad saya sudah bulat untuk menjadi ibu rumah tangga. Itu semua berubah, mungkin karena terbiasa uang sendiri atau merasa seperti katak dalam tempurung. Ego saya masih begitu tinggi.

Setelah membujuk suami, akhirnya saya melamar lagi dan diterima. Setelah hampir lima tahun bekerja, keinginan jadi IRT muncul lagi setelah memilik anak kedua. Tapi, pertimbangan-pertimbangan selalu saja membuat saya maju mundur untuk resign. Apalagi kalau bukan roda perekonomian keluarga. Cicilan di mama-mana dan membiarkan suami bekerja sendiri rasanya nggak tega.

Suami selalu meminta saya untuk resign. Ia yakin resign bukan berarti rezeki berkurang. Anak lebih utama dan rezeki bisa datang dari mana saja. Niat baik pasti ada jalan.

Setelah menimbang-menimbang, tetap saja saya bekerja. Hingga akhirnya Rabu sekitar pukul 02:00 WIB di akhir Januari, saya baru membaca SMS dari ART. Maklum, ponsel saya lagi dicharge dan saya matikan. Isi SMS langsung bikin pusing, Mbak ART bilang mudik besok (kirim SMS Selasa malam) karena anaknya mau sekolah dan nggak boleh balik lagi sama ibunya.

Langsung dong cenat-cenut nih kepala. Apa iya saya izin lagi ke kantor setelah sebelumnya saya izin karena anak sakit. Dan izin kali ini tentu tak bisa sebentar. Apalagi ibu saya juga punya tugas lain menjaga anak kakak saya.

Dengan memberanikan diri dan menanyakan suami, akhirnya saya kirim e-mail ke atasan yang menyatakan saya memilih mundur. Saya sudah nggak sabar itu nunggu balasan email. Tapi, atasan saya minta waktu untuk menjawabnya.

Saat menyatakan resign itu hati rasanya plong dan berharap gol. Saya minta nggak masuk hari itu dan besoknya kerja dari rumah. Selang sehari atasan saya menjawab tak bisa menahan. Alhamdulillah…

Karena aturan 1 month notice, saya akhirnya minta per 27 Februari. Dan sejak 13 Februari saya cuti menjelang sah menjadi IRT.

Saya tipe wanita yang nggak bisa meninggalkan anak kerja saat masih bayi. Soale yang pertama saja baru saya tinggal bekerja saat usianya sudah 18 bulan.

Dulu saya pernah menulis tentang kisah seorang perempuan yang memilih resign demi keluarganya. Dan menurut saya, kisah itu inspiratif. Ia adalah Helena Frith Powell yang menuliskan kisah hidupnya dalam buku berjudul The Ex-Factor.

Pengalaman Helena yang berhenti bekerja menunjukkan perbaikan yang nyata. Hubungannya dengan anak-anak makin baik dan dekat. Ada tawa di dalam mobil dalam perjalanan ke sekolah. “Pertengkaran berkurang, ada suasana tenang yang tak pernah ada sebelumnya. Saya lebih tenang, sehingga mereka lebih tenang.”

Tapi seperti yang saya pelajari sendiri adalah tak bekerja tak hanya membuat hidupmu lebih bahagia, ini juga bisa membuatmu menjadi ibu dan istri yang lebih baik.

Helena menyebut dirinya bebas setelah berhenti bekerja. Ia tak perlu lagi mengkhawatirkan dirinya bukan siapa-siapa. “Saya menyadari bahwa saya takut mengatakan saya hanya seorang ibu rumah tangga, tapi kenapa ? Menjadi seorang ibu, seperti yang kita semua tahu, sebenarnya pekerjaan paling sulit di dunia.”

“Kami memiliki semacam keseimbangan dalam hidup … Mengingat kembali ketika saya bekerja di sebuah kantor penuh waktu, saya akan mengatakan bahwa setidaknya 70 persen dari argumen dan stres adalah sebagai akibat dari saya harus mencurahkan waktu untuk bekerja dan bukan keluarga.”

Saya menghormati setiap keputusan seorang ibu. Apakah Menjadi wanita karir atau bukan, itu merupakan pilihan masing-masing dan merekalah yang tahu alasan. Meski dulu saya pernah merasa minder menjadi IRT, tapi ketika saya bekerja saya iri dengan para IRT.