Habis lebaran tibalah kegalauan ibu pekerja yang memiliki Asisten Rumah Tangga (ART), balik lagi nggak ya? Terus apa harus resign kalau ART nggak balik lagi? Saya beberapa tahun mengalaminya dan benar-benar dibuat Harap-harap Cemas (H2C).
Apalagi kalau besoknya sudah masuk kerja, ART belum kunjung tiba. Pas di telepon, masih terjebak macet. Kalau begitu jurus minta tolong nenek langsung diterapkan. Harusnya nenek jaga anak kakak, eh dengan memohon nenek ke rumah.
Kadang-kadang bikin capek hati juga sih. Alhamdulillah, mbak dulu yang bertahan 5 tahun kerja balik lagi meski sukses bikin ketar ketir.
Tahun ini, kegalauan itu tak lagi saya rasakan. Ini tahun kedua saya nggak galau nunggu ART balik lagi. Tahun lalu, saya sudah nggak pakai ART dan masih cuti melahirkan. Dan tahun ini, masih pakai ART cuci gosok yang rumahnya masih satu wilayah
Kegalauan nunggu ART balik habis mudik sampai dibuat meme. Banyak meme yang muncul. Benar-benar ya, ART sangat dibutuhkan. Sayang, semakin merasa dibutuhkan terkadang merasa besar kepala.
Pastinya nggak sedikit ibu-ibu yang sudah bersikap baik sama ART, bahkan sampai diberikan THR, uang tiket buat pulang pergi, makanan kue lebaran. Semua dilakukan agar ART balik lagi. Tapi apa yang terjadi? ART tiba-tiba kasih kabar, “Maaf bu, saya nggak bisa balik lagi”.
Adudududu…rasanya itu lho. Mau bagaimana lagi, diikhlaskan saja deh, semoga dapat ART yang lebih baik.
Tapi pernah nggak, sampai kepikiran mending resign saja dibanding gonta ganti ART. Belum tentu ART pengganti lebih baik kerjanya, apalagi kalau tugasnya ART lebih banyak buat jagain anak. Galaunya emak-emak habis Lebaran banyak juga yaa.
Saya pernah baca artikel atau blog tentang ART Artis Dian Sastowardoyo yang pasti balik kalau mudik. Saya mah wajar aja, wong gajinya ART saja udah gede, belum lagi fasilitas lainnya. Kalau saya terapin cara seperti beliau ya dari mana budgetnya, hehehe.. Ekonomi orang kan nggak semuanya sama.
Kembali ke tentang resign. Saya saat ini berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) atau full time mommy (FTM) yang nyambi jadi kontributor seadanya. Mungkin saya termasuk ibu-ibu yang kasarnya sudah jenuh berkantor dan memilih menghabiskan waktu dengan anak-anak.
Memang menjadi FTM bagi saya nggak selalu menyenangkan, ada saatnya saya merasa jenuh atau tertekan, tapi itu nggak seberapa. Senangnya malah lebih banyak. Apalagi saya tipe orang rumahan, jadi nggak terlalu kaget di rumah terus 😀
Mungkin cocok juga sama saya yang tipenya orang rumahan, beda lagi sama ibu-ibu yang senang dengan tantangan pekerjaan.
Ternyata apa yang orang katakan benar, asal kita ikhlas melepaskan jabatan kantor dan beralih menjadi IRT, rezeki itu tak pernah berhenti mengalir. Pernyataan ini sering saya tuliskan di beberapa blog saya, tapi itu kenyataannya. Jadi saya nggak bosen-bosen menuliskannya.
Terus kaget nggak, dulu pegang duit sendiri sekarang nggak? Jujur sih iya, hehe.. Dulu ada gaji sendiri, sekarang harus mengelola keuangan (baca: gaji suami) dengan benar. Apalagi saya orangnya boros. Ikat pinggang yang kenceng-kenceng.
Tapi, berhubung saya dulu kantornya jauh dari rumah Pondok Cabe-Senayan. Setelah dihitung-hitung sama saja dengan bayaran saya sebagai kontri yang tentu jumlahnya jauh di bawah gaji saya dulu.
Dulu, selagi saya masih bergaji, uang saya sebagian besar habis untuk transportasi. Berangkat dianter suami, pulang dua kali transportasi (sekali ngebus dan sekali ngangkot). Terus ngojek. Kalau dihitung, bensin nganter saja udah gede sebulan, belum lagi ongkos pulang.
Pas akhir bulan, nggak ada tuh yang bisa ditabung. Kalau lagi ada kelebihan, sisa gaji maksimal sejuta atau Rp 500ribu. Belum lagi capek, stres sama kerjaan kantor, stres kena macet pula. Sementara, kerja di rumah kalau rajin nulis bisa dapet minimal Rp 500ribu sampai Rp 1Jutaan, dan bisa main sama anak. Sama kan hasilnya, hehehe…
Tapi, saya pernah dikasih tahu kalau mau resign pertimbangkan dengan masak-masak. Apabila penghasilan istri masih menopang 50 persen pengeluaran, sebaiknya dipikir ulang. Kecuali kalau menopang sekitar 20 persen pengeluaran.
Saya dulu sebenarnya ingin cepat-cepat resign, tapi waktu itu masih banyak kredit yang ditanggung dan gaji saya diperlukan untuk tambah-tambah, alhasil masih mikir ulang. Setelah ada uang lebih, langsung salah satu kredit dilunasi. Baru setelah itu saya memberanikan diri resign meski sedikit berat meninggalkan kerjaan teman-teman. Tapi, anak saya lebih membutuhkan mamanya 🙂
Galau mau resign itu nggak enak bener, tapi bismillah aja. Mantapkan hati dulu dan berpikir dengan matang. Jangan takut rezeki jadi berkurang, yang ada suka datang rezeki yang nggak diduga-duga. Yang penting selalu bersyukur, berusaha, dan berdoa. Oh ya satu lagi jangan lupa bersedekah:)
Terkadang juga suka berpikir, hidup itu nggak selalu mulus jalannya. Terus bagaimana tetap aman dan bisa punya uang simpanan meski penghasilan suami cukup seadanya. Kalau saya masih standar, memaksakan ikut asuransi. Belum menyimpan emas atau deposito atau berinvestasi lainnya. Semoga semua berjalan baik.
Satu hal yang ingin banget saya lakukan adalah bisa mengerjakan sesuatu yang memberikan penghasilan. Misalnya jualan online lagi, atau jago masak bisa buka catering atau pintar menjahit bikin jahitan yang lucu-lucu dan unik, yang dicari banyak orang, amin…
Tapi, resign bukan keputusan mudah kalau ibu pekerja masih memiliki tanggungan biaya seperti adik sekolah atau orangtua, sebaiknya niat resign dipikir ulang. Tugas membiayai keluarga juga mulia. Suatu saat pasti ada waktunya bisa resign agar bisa total mengurus anak dan keluarga.
Tuhan selalu mendengar doa hambanya. Jika bukan saat ini, tentu di waktu yang dianggapNya tepat 🙂
Memang menulis tentang kehidupan itu kesannya mudah, pas dijalani nggak segampang apa yang dituliskan. Pokoke kata pak ustaz jalani saja dengan ikhlas agar semua terasa mudah 🙂
#emaksokbijak
Posted from WordPress for Android