Disclaimer: Tulisan ini tidak ditujukan untuk merendahkan profesi mana pun. Setiap profesi memiliki kompetensi dan kontribusi penting buat masyarakat. Aku hanya ingin menyoroti bahwa setiap manusia, apa pun jabatannya, tetap memiliki batas pengetahuan. Mengakui batas itu bukan berarti melemahkan profesi, tetapi justru membantu kita memandang keahlian mereka secara lebih realistis dan sehat.
Belakangan ini begitu banyak pertanyaan di kepalaku. Salah satunya, ‘Apakah ada profesi yang otomatis membuat seseorang tahu segalanya?‘.
Dokter dianggap ucapannya selalu benar.
Jurnalis dianggap menguasai semua isu dari politik sampai kesehatan.
Ahli agama dianggap paham seluruh persoalan moral dan sosial.
Menteri, apalagi yang memimpin negara, dianggap pasti paling pintar di antara kita.
Tapi makin ke sini, aku justru semakin sadar:
Tidak ada profesi yang bisa menjamin seseorang menguasai semua ilmu.
1. Profesi itu label, bukan jaminan kesempurnaan
Memiliki gelar atau jabatan tidak otomatis membuat seseorang:
- Selalu benar,
- Selalu update ilmu,
- Atau selalu punya kapasitas yang kita harapkan.
Kita kadang lupa bahwa di balik jas dokter, toga akademik, atau podium pejabat negara, yang berdiri tetaplah manusia, dengan kelebihan, kekurangan, bias, dan batas pengetahuan.
Profesi memang memberi seseorang kompetensi dasar, tapi kompetensi itu pun punya batas.
Dan batas itu sering kita lupakan. Batas bidang, batas waktu, dan batas kemanusiaan.
Dokter ahli dalam kesehatan, tapi tidak mungkin menguasai seluruh cabang medis yang begitu luas. Jurnalis terlatih mencari fakta, tetapi tidak otomatis menguasai semua isu. Ahli agama memahami teks keagamaan, tetapi belum tentu paham virologi atau kebijakan publik.
Kompetensi membuat seseorang mampu di ranah tertentu, tapi tetap ada area-area yang berada di luar jangkauan ilmunya — dan itu wajar, karena kita semua manusia.
2. Banyak profesi yang menuntut belajar terus-menerus
Ilmu kesehatan misalnya, berkembang cepat sekali:
- Covid berubah, Long Covid masih terus diteliti,
- Data baru bermunculan setiap bulan,
- Rekomendasi medis bisa berubah berdasarkan bukti terbaru.
Jadi wajar kalau tidak semua dokter mengetahui setiap riset terbaru, atau punya waktu mengikuti semua perkembangan ilmiah.
Mereka punya kompetensi medis, namun kompetensi bukan berarti serba tahu. Ada yang rajin update, ada yang tidak sempat, ada yang hati-hati, ada yang meremehkan
Begitu juga profesi lain:
Tidak semua jurnalis paham politik luar negeri.
Tidak semua ahli agama menguasai isu kesehatan modern.
Tidak semua menteri mahir komunikasi publik—bahkan yang harusnya tampil di depan kamera setiap hari.
Profesi memberi dasar keahlian, tetapi keahlian itu tetap butuh dipelihara.
Tanpa belajar, kompetensi bisa mandek.
Profesi bukan tongkat sihir yang membuat seseorang serba bisa.
3. Mengagung-agungkan profesi justru membuat kita lupa mengkritisi
Dulu aku pernah berpikir:
“Ah, kalau sudah jadi menteri pasti pintar.”
“Dokter pasti lebih tahu daripada pasien.”
“Pejabat pasti tahu apa yang dia lakukan.”
Nyatanya?
Beberapa keputusan publik akhir-akhir ini justru memperlihatkan sebaliknya.
Ada dokter yang meremehkan Long Covid.
Ada pejabat yang bingung menjelaskan tugasnya sendiri.
Ada pembuat kebijakan yang tampaknya minim data.
Dan ternyata itu manusiawi.
Masalahnya bukan karena profesinya salah, tapi karena ekspektasi kita terlalu tinggi.
Seolah gelar membuat seseorang selalu berada di atas kritik. Padahal tidak.
4. Pada akhirnya, semuanya kembali ke individunya
Dalam satu profesi, kita bisa menemukan:
- Yang terus belajar dan yang malas belajar,
- Yang terbuka dan yang keras kepala,
- Yang kritis dan yang ikut arus,
- Yang cermat dan yang sekadar menggugurkan tugas.
Label profesi memberi seseorang kompetensi awal, tetapi kualitas manusia ditentukan oleh hal lain:
integritas, rasa ingin tahu, dan kerendahan hati. Itu yang memperlihatkan sejauh mana seseorang mau belajar.
Pelajaran sederhana itu adalah…
Bahwa tidak ada profesi yang sakral.
Tidak ada jabatan yang membuat seseorang kebal dari salah.
Tidak ada manusia yang mampu menguasai semua ilmu, bahkan ketika mereka dibayar untuk mempelajarinya.
Dan mungkin ini pengingat baik bahwa kita semua, apa pun profesinya, masih punya ruang untuk belajar, bertumbuh, dan memperbaiki diri
