Ketikan ini kubuat setelah ngobrol panjang dengan beberapa teman tentang sistem belajar di sekolah, yang menuntut murid harus hafal. Entah itu pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) atau Pendidikan agama. Nyatanya, hafal banyak pasal atau ayat nggak otomatis membuat seseorang berprilaku baik. Padahal sejak kecil kita selalu diajari bahwa pendidikan itu bukan cuma soal nilai, tapi tentang membentuk karakter dan akhlak.
Makin ke sini, aku jadi melihat sesuatu yang agak ironis, hafalan tidak selalu berubah menjadi akhlak.
Kita bisa saja mengingat kata demi kata, tapi lupa memaknai apa yang sebenarnya ingin dibentuk oleh kata-kata itu.
1. Kita terlalu sibuk menghafal, lupa menghayati
Banyak pelajaran, baik pelajaran umum maupun pelajaran agama yang lebih menekankan ‘apa bunyinya’ daripada ‘apa maksudnya’.
Akibatnya:
- Otak mengingat,
- Mulut lancar mengulang,
- Tapi hati tidak ikut tumbuh.
Hafal pasal tentang korupsi bukan berarti takut korupsi.
Hafal ayat tentang amanah bukan berarti otomatis amanah.
Hafal larangan-larangan agama bukan berarti punya empati saat memegang kuasa.
Yang jadi masalah bukan hafalannya…
tapi maknanya yang tidak pernah turun menjadi sikap hidup.
2. Pendidikan kita mencetak kepala penuh, bukan jiwa matang
Sejak kecil, kita dibesarkan dalam budaya yang:
- Memuji nilai ujian, bukan keluhuran hati,
- Menilai hafalan, bukan cara bersikap,
- Memberi tempat bagi kepintaran, bukan kebijaksanaan.
Padahal akhlak tidak pernah tumbuh dari ujian tulis.
Ia tumbuh dari pembiasaan, kejujuran kecil, pilihan sederhana, dan keteladanan yang konsisten.
Kalau tiap hari anak mendengar ceramah tentang integritas, tapi yang ia lihat adalah orang dewasa bermanuver, berbohong halus, atau menormalisasi celah, ya wajar kalau ia belajar hal yang berbeda dari yang diajarkan.
Kita belajar dari apa yang kita lihat, bukan dari apa yang kita hafal.
3. Maka lahirlah pejabat yang “pintar teori tapi rapuh hati”
Ini bukan soal individu. Bukan soal partai.
Ini soal sistem yang sudah lama berjalan.
Kita punya banyak orang pintar—benar.
Tapi tidak semua punya kedalaman hati.
Ada orang yang dapat menyebutkan ayat tentang amanah,
tapi tidak merasa berat ketika amanah itu dilanggar.
Ada yang hafal pasal tentang penyalahgunaan kekuasaan,
tapi paling duluan mencari celah untuk menutupinya.
Ada yang paham hukum,
tapi lupa tujuan hukum itu juga menjaga manusia.
Kita menghasilkan generasi yang tahu apa yang benar, tapi tidak selalu merasa wajib menjadi benar.
4. Hafalan itu penting—but it’s only the door
Aku nggak bilang hafalan itu sia-sia.
Hafalan tetap penting sebagai awal.
Tapi ia hanya pintu, bukan ruangan yang utuh.
Yang membuat seseorang berakhlak bukan teksnya,
tapi bagaimana teks itu hidup di dalam dirinya.
Dan itu muncul dari:
- Ruang dialog,
- Kebiasaan jujur,
- Pengalaman membuat pilihan yang benar,
- Dan terutama, keteladanan yang nyata.
Karena akhlak itu ditangkap, bukan diceramahkan.
Disaksikan, bukan dihafalkan.
Pada akhirnya…
Kita sedang menjalani masa di mana hafalan dianggap prestasi, tapi kedewasaan dianggap bonus.
Padahal, kalau mau jujur, masalah terbesar bangsa ini bukan kurangnya orang pintar,
tapi kurangnya orang yang benar-benar menghidupi nilai yang mereka hafal.
Dan mungkin, tulisan sederhana ini bisa jadi pengingat bahwa tugas kita bukan sekadar mengajar kata-kata, tapi membentuk manusia.
Memberikan contoh yang nyata, dengan hati yang konsisten, dan dengan kesadaran bahwa akhlak bukan hasil sekali jadi, tapi perjalanan seumur hidup.
