Sebagai seorang ibu, memiliki pekerjaan lepas tanpa terikat waktu itu memang impian banget, ya. Bisa dapat penghasilan tambahan tanpa harus meninggalkan anak di rumah.
Kita bisa tetap dekat, tetap ada di rumah, sambil tetap merasa “punya diri sendiri”. Tapi pelan-pelan aku belajar, di balik fleksibilitas itu, ada tantangan yang nggak kecil.
Aku mulai menjadi freelancer sebagai kontributor di salah satu media online sejak sekitar 2017. Waktu itu anak masih dua, satu sudah SD, satunya lagi masih bayi. Repot? Iya banget. Baru bisa ngetik malam hari, itu pun kalau nggak ikut ketiduran sambil ngelonin anak.
Untungnya, tempat aku bekerja nggak memaksakan harus kirim berapa artikel dalam sehari. Bebas sih. Tapi kebebasan itu juga berarti tanggung jawab ada di tangan sendiri. Kalau mau penghasilan yang agak lumayan, ya harus lebih giat dan konsisten.
Sudah bertahun-tahun jadi freelancer, ternyata tantangannya nggak benar-benar hilang. Dulu alasannya karena anak masih kecil. Sekarang anak-anak sudah lebih besar, harusnya lebih senggang, kan? Nyatanya… nggak juga 😁
Kerja dari rumah itu bikin batas antara urusan rumah dan kerja jadi kabur. Meski anak sudah mandiri, energi mental tetap terkuras. Ada masak, beres-beres, mikirin ini-itu, yang semuanya rasanya kecil tapi numpuk. Jadi jangan heran kalau waktu senggang nggak otomatis berubah jadi waktu produktif.
Liburan sekolah seperti sekarang ini juga sering terasa ideal di kepala. Harusnya bisa lebih fokus, lebih produktif. Tapi realitanya, selain sibuk PO roti, aku juga lagi demam drama China alias dracin 🤣
Habis beres kerjaan rumah—kebetulan aku nggak pakai ART—niatnya mau istirahat sebentar sambil nonton satu episode. Eh, malah bablas lanjut. Kita semua tahu kan, dracin itu episodenya pendek-pendek, tapi jumlahnya banyak dan susah banget berhenti.
Di titik ini aku sadar, tantangan kerja dari rumah bukan cuma soal waktu, tapi juga soal disiplin diri. Nggak ada atasan yang negur kalau kita mager. Yang ada justru rasa bersalah versi baru: kok bisa-bisanya nggak produktif, padahal sebenarnya punya kesempatan.
Kerja dari rumah memang mengasyikkan. Istirahat itu perlu, hiburan juga penting. Tapi tetap harus belajar melihat skala prioritas. Mau rebahan, silakan. Mau nonton, nggak apa-apa. Asal sadar kapan harus berhenti.
Soalnya, sedikit demi sedikit aku belajar, cuan itu bukan hasil ledakan semangat sesaat, tapi dari konsistensi kecil yang dijaga. Pelan-pelan, seadanya, sambil tetap waras sebagai ibu.
Catatan kecil sebagai freelancer
- Fleksibilitas kerja itu nikmat, tapi tetap butuh disiplin pribadi.
- Anak makin besar bukan berarti energi kita otomatis lebih longgar.
- Kerja dari rumah bikin batas kerja dan urusan domestik sering kabur.
- Waktu senggang nggak selalu berujung produktif kalau nggak disadari.
- Distraksi kecil (rebahan, nonton “sebentar”) bisa makan jam kerja.
- Rasa bersalah versi baru itu nyata: merasa punya waktu tapi tak maksimal.
- Istirahat tetap perlu, asal tahu kapan berhenti.
- Cuan biasanya datang dari konsistensi kecil, bukan semangat dadakan.
Zaman sekarang, musim penyakit yang seperti nggak ada habisnya juga pelan-pelan berdampak ke kinerja freelancer.
Bukan soal malas atau nggak profesional, tapi karena tubuh dan pikiran punya batas. Saat anak sedang sakit, misalnya, mau memaksakan diri bekerja rasanya susah. Pikiran dan tenaga sudah tercurahkan ke anak, ke rasa khawatir, ke urusan yang nggak bisa ditunda. Fokus pun terpecah.
Apalagi kalau yang sakit justru diri sendiri. Badan lemas, kepala berat, tapi deadline tetap jalan. Di titik seperti ini, jadi freelancer terasa nggak sefleksibel yang sering dibayangkan orang.
Kita tetap harus memilih, menyelesaikan pekerjaan dengan kondisi setengah utuh, atau berhenti sejenak sambil menanggung rasa bersalah.
Nggak harus sempurna. Yang penting tetap jalan. Semangat terus buat kita yang kerja dari rumah, sambil terus belajar berdamai dengan distraksi 😉
