Aku mungkin keluarga pasien yang pendiam. Anakku sibuk menonton TV, sementara aku sibuk mengetik di ponsel. Di sebelahku ada beberapa penjenguk. Lalu terdengar satu celetukan yang membuatku tersenyum geli.
“Bang, kita tuh bukan ngelayat, tapi jenguk.”
Sepertinya masih anak-anak semua yang berkomentar. Nggak ada maksud apa-apa, cuma spontan saja. Tapi kalimat itu mengingatkanku pada satu hal, memang benar, sakit adalah momen orang datang menjenguk, memberi dukungan, menunjukkan empati.
Namun, ada satu hal yang sering luput disadari bahwa menjenguk juga ada aturannya.
Masker. Kata ini mungkin sudah membuat banyak orang lelah. Tapi menurutku, masker tetap penting. Penjenguk di rumah sakit atau di rumah perlu bertanya pada diri sendiri, Apakah aku benar-benar sehat saat datang menjenguk?
Dan satu pertanyaan lain yang jarang terpikir, Apakah aku yakin pulang nanti tidak membawa “oleh-oleh” penyakit dari rumah sakit atau rumah yang dijenguk?
Hal-hal seperti ini pelan-pelan perlu diubah. Karena hari ini, sakit itu mahal. Pakai BPJS pun tidak selalu sepenuhnya ditanggung. Asuransi swasta? Biayanya justru makin meroket dan penuh batasan.
Sakit bukan cuma soal rasa nyeri, tapi juga soal biaya, waktu, dan energi yang terkuras. Maka tolong dipikirkan baik-baik, apakah kita sudah punya tabungan cukup besar sampai berani membiarkan tubuh, milik sendiri atau orang lain, tersakiti?
Dan satu hal lagi, yang rasanya perlu kita renungkan bersama, jangan berlindung di balik kata takdir untuk menutupi kelalaian.
Ikhtiar itu juga bagian dari iman. Menjaga diri, menjaga orang lain, dan bersikap peduli dengan cara yang benar, itu semua bukan berlebihan. Itu bentuk tanggung jawab.
Semoga kita bisa lebih bijak, lebih sadar, dan lebih peduli. Karena sehat itu bukan cuma anugerah, tapi juga hasil dari pilihan-pilihan kecil yang kita ambil setiap hari.
