Sampai detik ini saya bertanya-tanya apa yang membuat diri saya seperti ini. Saya begitu mudah emosi, apalagi jika sedikit tertekan. Belum lagi, ada saja jawaban yang terlontar jika saya merasa disudutkan.
Inilah yang membuat saya ingin sekali mendidik buah hati dengan benar. Memang menjadi orangtua bagi saya bukan pekerjaan yang mudah. Salah didik bisa berdampak hingga kehidupan dewasanya. Tapi, saya hanya manusia biasa.
Berbagai artikel saya baca tentang cara mendidik anak yang baik dan benar. Namun, ternyata apa yang disebutkan di artikel tak mudah dijalankan. Semua ahli di artikel itu pasti mengatakan dilarang membentak anak ataupun berkata ‘jangan’ atau ‘tidak’. Tapi kenapa saya sulit menerapkannya ya. Apa hanya saya yang seperti itu.
Kembali ke diri saya. Ternyata saya dan kakak saya tak ada bedanya, 11-12. Saya jadi menduga-duga, mungkinkah ini efek didikan orangtua kami? Apa yang salah? Selama ini orangtua kami baik dalam mendidik.Bahkan kami bersyukur memiliki keduanya karena melalui mereka kami benar-benar diajarkan pentingnya pendidikan agama. Dan kami bersyukur tak melakukan perbuatan yang menyimpang.
Lantas apa yang menjadikan saya seperti ini. Pola asuh apa yang salah? Andai saya ingat seperti apa dulu saya dididik. Tapi saya ingat kembali perkataan teman, trauma masa kecil atau salah dalam mengajari bisa menjadi mental block. Meski saya lupa, tapi pikiran bawah sadar saya merekamnya sehingga saya melindungi diri seperti cara saya saat ini
Dulu, saya pernah menulis blog berjudul Ketakutan itu Bermula di Masa Kecil. Ketegasan alm. Papa sayakah yang membuat saya seperti ini? Sepertinya bukan itu saja.
Untuk mencari tahu apa yang saya alami, saya berusaha lihat dari kepribadian anak saya. Saya memang suka melarang sesuatu yang dianggap tak baik dengan suara nada tinggi. Dan sepertinya larangan itu membuat anak saya pintar menjawab untuk melindungi dirinya. Saya jadi melihat anak saya seperti diri ini. Saya tak ingin apa yang saya alami terulang pada diri anak saya.
Orangtua saya selain tegas juga suka melarang saya melakukan sesuatu. Jika ketahuan saja saya melanggar, saya dimarahi. Ternyata itu berbekas hingga saya dewasa.
Suara nada keras kerap dianggap marah meski niat awal agar disiplin. Tapi, anggapan anak tentang marah ini bisa berdampak ke kehidupan masa depannya. Kemarahan Anda bisa berefek besar pada kepribadian dan perilaku anak Anda.
Situs Supernanny menuliskan, kemarahan Anda mempengaruhi cara Anda menjadi orangtua. Ini mempengaruhi cara Anda berbicara dan mendisiplinkan anak-anak Anda. Anak Anda melihat kemarahan Anda dan mereka berpikir bereaksi seperti Anda yang marah-marah itu normal. Anak-anak yang melihat mama papanya marah karena hal sekecil apapun jadi berpikir itu bisa diterima jika ia melakukannya sendiri.
Ingatlah bahwa anak Anda belajar dengan imitasi dan ia akan menyalin (fotokopi) Anda ketika mengekspresikan kemarahannya sendiri.
Marah dan Disiplin
Mendisiplinkan anak dengan marah itu disiplin yang salah. Disiplin sebenarnya untuk membimbing anak Anda agar berperilaku yang benar. Marah itu hukuman. Jika Anda marah dengan hukuman fisik itu bukan disiplin yang benar.
Mendisiplinkan anak dengan marah itu berhubungan dengan over-kritik. Daripada bertengkar Anda, Anda akan melarang anak untuk melakukan hal-hal kecil. Ini berarti Anda mengharapkan sesuatu yang lebih dari anak Anda dibanding kemampuan seusianya.
Kemarahan Anda dan anak Anda
Anak-anak tidak melihat nuansa abu-abu – mereka tidak menyadari kemarahan Anda itu secara pribadi, tetapi sebenarnya kemarahan proyeksi dari kekecewaan satu sama lain. Dalam situasi seperti ini, anak hanya melihat bahwa mama papanya marah dengan mereka sepanjang waktu.
Cobalah lihat dari sudut anak Anda. Mungkin anak tidak bisa berbuat apa-apa tanpa mendengar kata-kata ‘tidak’, ‘tidak bisa’, tidak ‘,’ tidak seharusnya ‘. Harga diri dan kepercayaan dirinya terpengaruhi karena menurutnya mama dan papanya tidak mencintainya.
Karena anak merasa dia tidak bisa sesuai dengan apa yang orangtua inginkan, anakn menjadi agresif dan destruktif. Karena mama dan papa berteriak sepanjang waktu, anak juga melakukan; karena mereka bereaksi berlebihan terhadap hal-hal kecil, ia juga melakukannya dan karena orangtua memukul anak ketika dia bertingkah, dia pikir tidak apa-apa memukul.
Dari artikel itu kini saya tahu jawabannya. Saya adalah salinan alias fotokopi orangtua saya dan saya harus berubah agar anak-anak saya tak menyalin lagi perilaku saya yang salah ini.
Lepas dari lingkaran setan
Orangtua marah itu wajar, tapi jangan sampai marah itu mencegah Anda menanggapi anak
dengan cara yang positif dan konstruktif ketika ia bertingkah. Yang perlu Anda lakukan agar terlepas dari lingkar setan itu adalah;
1. Hadapi kemarahan Anda
Cari tahu bagaimana Anda mengekspresikan kemarahan dan frustrasi. Apakah Anda memendamnya hingga akhirnya meledak dalam kemarahan belaka? Apakah Anda membiarkannya keluar dengan cara yang terlalu kritis yang berfokus sepenuhnya pada karakter anak Anda? Apakah Anda mengungkapkannya dengan cara yang agresif untuk mendominasi orang lain dan mengendalikan situasi yang sulit? Yang perlu Anda ingat adalah anak Anda belajar dengan mencontoh dan ia akan memfotokopi Anda ketika mengekspresikan kemarahannya sendiri.
2. Memahami mengapa Anda marah
Ketika Anda marah dengan anak Anda, biasanya karena Anda salah menafsirkan tindakan Anda. Anak Anda ingin menyenangkan Anda dan membuat Anda bahagia – tapi anak sering memiliki agenda yang sama sekali berbeda dari Anda.
Katakanlah Anda memakaikan anak Anda pakaian terbaik untuk pesta. Kemudian saat Anda sedang bersiap-siap, dia pergi ke taman dan menghabiskan 15 menit memanjat pohon dan melompat di lumpur. Sekarang semuanya kotor. Anda pun jadi marah karena Anda pikir dia melakukannya dengan sengaja. Tapi kenapa anak sampai melakukannya? Anak Anda bosan menunggu Anda dan pergi ke luar untuk mengisi waktu. Dia tidak menyadari bahwa ia semakin kotor dan itu akan menimbulkan masalah – dia hanya berusaha untuk menemukan sesuatu untuk dilakukan ketika ia menunggu.