Rumah menjadi barang supermewah. Coba lihat di pinggir-pinggir jalan, rata-rata spanduk iklan rumah harganya sudah fantastis, minimal Rp 1 M.
Ada sih yang Rp 300jutaan, cuma lokasinya biasanya ujung sono, alias di pinggir ibukota. Sebenarnya, asal aksesnya membantu, rumah jauh juga bisa menjadi dekat. Akses yang saya maksud kendaraan umum atau KRL.
Dulu, kami nggak pernah membayangkan bisa membeli rumah meski dengan sistem KPR. Itu sekitar tahun 2009. Saat itu harga rumah di sekitar ciputat sudah di atas Rp 250juta. Mau beli, mikir lagi. Nanti kami sanggup bayar Down Paymentnya (DP)nya nggak ya. Kalau nggak salah minimal 20 persen.
Sudahlah, sepertinya kami belum sanggup. Saat itu, saya belum bekerja. Saya memilih di sekitar Ciputat agar dekat sama nenek (mama saya). Yang dekat rumah nenek malah lebih ngeri harganya. Luas tanah yang 90 m2 saja sudah Rp 450juta ke atas. Aduh, kok jadi jiper duluan.
Pikiran saya mungkin terbilang jadul, tapi bener saya lebih suka rumah dibanding apartemen.
Mungkin ada yang bertanya, mengapa tidak tinggal di rumah nenek saja? Jawabannya sederhana, kami ingin mencoba mandiri. Kedua, tanah nenek juga bermasalah. Ada pihak yang mengaku memilikinya dan menang di pengadilan. Padahal, dlu itu tanah yayasan. Saya cuma jaga-jaga saja. Kalau bisa beli, alhamdulillah.
Walau nenek bilang nanti saya tinggal di rumah nenek, saya kepikiran saja bagaimana tiba-tiba jika diusir sama pihak yang menang saat kami tak punya rumah. Kalau bisa mencegah kenapa nggak mencobanya.
Setelah kami undur-undur, akhirnya pada 2010 sekitar bulan Agustus kami nekat. Saat itu saya baru mulai masuk kerja. Kami mendatangi beberapa rumah. Dan kami sungguh tak menyangka, rumah yang pada 2009 harganya Rp250juta sudah naik menjadi Rp 350juta. Ya ampun, naik Rp 100juta.
Karena itulah, kami harus memberanikan diri. Kalau diundur-undur kapan mau belinya. Lama-lama bakal susah mencari rumah dekat nenek.
Sebelum ke kisah kami yang mencari rumah, ada beberapa tips yang sebaiknya perlu dipikirkan sebelum mantap memilih:
1. Akses kendaraan
Ini yang penting. Jangan hanya karena melihat bentuk dan harga yang murah, serta lingkungan yang asri, membuat kita mengabaikan bagaimana akses kendaraan di sana.
Dlu saya termasuk yang tergiur keasrian dan bentuknya. Tapi nggak pikir panjang kalau kerja bagaimana. Saya hanya berpikir, ‘Ah nanti bisa naik motor’.
Ternyata, nggak semudah itu. Kalau suami tugas keluar kota baru mikir. Bagaimana ke kantornya. Rumah jauh dari jalan raya dan ke kantor juga jauh. Ujung-ujungnya ngungsi ke rumah nenek biar enak naik kendaraannya.
Buat perumahan yang jauh dari ibukota, bisa pilih yang deket stasiun kereta, ini ngebantu banget.
2. Tergiur pamflet
Pamflet itu selalu menampilkan gambar rumah dengan bagus. Padahal, setelah jadi nggak mirip semuanya.
Di pamflet rumah kami, garasinya tergambar sudah berkeramik. Kenyataannya, cuma semen. Nggak mirip kan.
Enakan membeli rumah yang sudah ada contoh rumahnya. Kalau mengadalkan pamflet suka bikin kecewa. Nggak jauh beda sama maket. Cuma kalau ada maket ada gambaran seperti apa kira-kira rumahnya, beda sama pamflet yang cuma menerka-nerka.
3. Cerewet soal harga
Nah ini pastiin lagi. Harga sudah termasuk pajak pemecahan sertifikat belum. Sudah gratis BPHTB belum? Mending yang sudah include semuanya. Kalau belum repot. Ngurus pecah sertifikat buat teken Akta Jual Beli aja bisa puluhan juta.
4. Air itu penting
Airnya bersih dan jernih nggak, berbau kah? Terus seret apa nggak. Tanya-tanya tetangga dulu. Atau kalau ada tukang yang kerja rumah lain, pura-pura minta air misalnya cuci tangan atau wudhu, hehe..
Terus nanya juga berapa kedalaman airnya kalau pakai air sumur ya. Ini berguna saat sumber air di rumah nggak jernih. Jadi kalau ada yang benerin bisa tahu harus didalami atau tidak.
5. Nekat
Nekat memang kadang-kadang perlu. Tapi nekat pakai perhitungan ya. Menunda-nunda beli rumah malah akan membuat si rumah menjauh.
Kasarnya sih, kalau ada uang tabungan yang kira-kira bisa buat DP, langsung saja pakai. Kalau kantor bisa membantu malah enak. Buat cicilannya bagaimana? Ya hitung-hitung dulu. Bismillah bisa.
Rata-rata bank di sini menerapkan sistem flat hanya 2 tahun, setelah itu mengikuti suku bunga.
Kalau mau yang flat selama menyicil biasanya bank syariah. Cuma rumah yang sistem indent dan belum bersertifikat kayaknya nggak bisa deh. Saya lupa juga aturannya, hehe..
CERITA RUMAH
Setelah muter-muter, ada perumahan yang menurut kami membantu kami yang nggak memiliki uang banyak. Perumahan itu menawarkan bayar DP menyicil selama 12 bulan. Jadi, pihak developer bekerja sama dengan sebuah bank.
Melihat promo yang ditawarkan, kami tak pikir panjang. Dari pamfletnya kayaknya rumahnya bagus. Minimalis dan asri. Sayang nggak ada miniaturnya, alasannya hanya ada di kantor pusat di daerah Tangerang sana.
Setelah proses berpikir selama seminggu, kami sepakat memilih perumahan tersebut. Waktu itu harga perumahan kami sekitar Rp 350juta. Pihak marketing kemudian membuatkan surat apalah itu sebagai tanda kami booking, tinggal nanti disampaikan ke bank.
Kami memilih sistem join income, karena kalau hanya dari gaji suami kayaknya bakal susah tembus KPRnya. Saat di kantor pemasaran, saya menanyakan tentang status saya yang belum pegawai tetap apa bisa buat KPR. Si sales pun meyakinkan kami bahwa itu nggak jadi masalah.
Sebulan menunggu telepon dari pihak bank, tapi kami sudah membayar cicilan ke developer.
Tiba-tiba saat yang dinanti datang, pihak bank menelepon. Tapi meminta surat keterangan bahwa saya sudah pekerja tetap. Waduh, bagaimana ini. Saya baru 3 bulan kerja, kalau mau surat tersebut minimal 6 bulan kerja.
Memasuki bulan kedua kami membayar, kami masih transfer. Tapi, bulan ketiga kami berhenti karena alasan menunggu pihak bank. Kami sudah bilang ke marketing, tapi sepertinya kami salah. Seharusnya menghubungi kantor pusat yang menyatakan kami stop dulu menunggu kepastian KPR.
Pihak bank tetap tak menghubungi kami. Hingga akhirnya Desember 2010 surat keterangan pegawai tetap saya keluar. Saya menghubungi pihak bank, tapi tak ada jawaban.
Akhirnya saya mendatangi marketingnya. Dan ternyata program DP nyicil itu sudah nggak ada. Waduh…. bagaimana ini, mana kami nggak bayar cicilan dp hampir 3 bulan.
Di situlah awal masalah muncul. Pada Januari, ada surat dari kantor pusat yang mengabarkan unit yang kami pesan sudah dialihkan ke orang lain. Dan salahnya saya, saat surat itu datang, saya nggak mencantumkan tanggal di kolom tanda tangan.
Ternyata surat itu datangnya, telat sebulan. Wong batas akhir Desember tapi suratnya baru datang Januari.
Kami nggak bisa berbuat apa-apa karena kesalahan saya. Sebenarnya, waktu menandatangani surat tanda terima, saya agak-agak nggak enak. Tulis tanggal nggak ya, eh saya memilih tak usah. Huaaaaa…insting tak kugunakan jadinya apes dah.
Naik pitamlah kami, sudah bayar setidaknya Rp 15juta terus bagaimana nasib rumah kami? Diambil lagi nggak mungkin. Kami berdua mendatangi kantor pemasaran, wah saya yang paling emosi.
Maaf ya pak marketing, jadi kena omelan saya, hehehe.. orangnya sabar sih dan dia minta maaf karena itu semua sudah keputusan kantor pusat.
Setelah terlibat cekcok yang lama, si marketing menawatkan unit baru dengan harga lebih mahal tapi dengan tanah yang lebih luas. Waduh, bagaimana ini…
Padahal sebelumnya kami sepakat di rumah nenek kalau kami batal membelinya. Tapi, kena bujukan lumer juga deh… kami tergiur karena perumahan ini sepertinya adem dan asri.
Untung, uang cicilan DP yang belum kami transfer beberapa bulan kami tabung, jadi lumayan buat tambahan.
LOKASI KANTOR
Pengalaman pertama membeli rumah emang berkesan banget. Kata orang, beli rumah itu kayak nyari jodoh. Ada yang udah sreg, tahu-tahunya prosesnya dipersulit. Ada yang sekali lihat langsung tertarik, padahal masih banyak yang lebih bagus.
Tapi dari pengalaman ini, saya baru ngeh nggak hanya karena pengembangnya terkenal, pelayanan purnajual juga bisa memuaskan pelanggan. Catatan ini bukan berarti saya menyamaratakan semua pengembang. Saya hanya berbagi dari pengalaman pribadi.
Saya pikir pengembang di rumah kami sudah sangat berpengalaman, ternyata salah dugaan.
Jangan kaget jika rumah baru sebulan sudah bocor, pas diklaim dicuekin. Setiap pengembang biasanya ada garansi 3 bulan untuk menyampaikan keluhan. Saya sudah bolak-balik klaim, tapi apa yang saya dapatkan. Dicuekin tanpa dibetuli hingga akhirnya waktu garansi habis.
Entah apa penyebabnya, apa karena nggak ada orang atau kantor pusat kejauhan. Jadi serasa anak terbuang kayak gini. Induknya di sana tapi sibuk dengan proyek di sana, yang di sini kelaut aja, hehe..
Terus bagaimana dengan alat-alat yang sudah rusak, padahal ngakunya misalnya pakai Toto. Kata tukang, udah bukan rahasia demi meminimalisir pengeluaran maka beli Toto aslinya hanya bagian-bagian tertentu, yang lainnya KW. Ah masa iya?
Tapi, wastafel saya dunk. Baru sebulan pipa besi bawahnya udah copot. Katanya merek Toto, pas saya lihat kok kayak seng gini. Belum lagi selang toilet duduk. Keran nyalain airnya itu pada bocor, ya wajar aja bahannya jelek gtu. Beda jauh dari Toto asli.
Yah nasib, mau bagaimana lagi. Saya cuma berpesan buat para pengembang, berbisnislah dengan sehat. Janji kasih A, ya kasih A yang asli, bukan campuran.
Bermain-main api sekarang, nanti terkena api di alam sana bisa berbuat apa coba?