Site icon MamaBocah

Menerka Isi Kepala, Kenapa Hutan Jadi Korban?

Kadang aku suka bertanya-tanya, kalau seseorang menebangi pohon atau merusak hutan. Apa murni demi uang, kok nggak mikir lingkungan sekitar?

Dan apa yang sebenarnya ada di pikirannya? Apa mereka membayangkan hutan ini bisa memperbaiki diri seperti tombol “reset” di game?

Kalau kita coba menerka isi kepala mereka, mungkin gambarnya kurang lebih seperti ini.

1. “Hutan kan luas. Nggak papa sedikit”

Logika “sedikit” ini yang jadi bumerang. Satu orang merasa tebang sedikit, orang lain bilang hal yang sama, dan ratusan izin lain menyusul. Akhirnya “sedikit” berubah jadi bukit botak, sungai keruh, dan banjir yang mampir ke rumah kita sendiri.

2. “Nanti juga tumbuh lagi”

Ini salah satu mitos paling kuat. Alam memang punya kemampuan pulih, tapi kecepatannya nggak sebanding dengan kerakusan manusia. Pohon yang ditebang hari ini butuh puluhan tahun untuk kembali ke bentuk semula—itu pun kalau tumbuh, ya. Belum fauna yang kehilangan rumah, atau ekosistem yang tercerabut.

3. ” Saya cuma cari nafkah”

Ini alasan yang manusiawi, tapi juga menyesakkan. Ada orang-orang yang terpaksa mengambil pilihan itu karena tekanan ekonomi. Tapi di balik mereka, ada sistem yang lebih besar: izin yang longgar, perusahaan yang mencari celah, kebijakan yang berubah-ubah sesuai arah angin. Si kecil jadi terlihat salah, padahal yang meraup paling besar justru si besar.

4. “Kalau bukan saya, orang lain juga akan ambil”

Mentalitas “kalah sebelum perang”. Seperti lomba merusak duluan. Padahal kalau semua orang berhenti serentak, hutan punya kesempatan buat bernapas lagi.

5. Jarak mental dari bencana

Sebagian orang nggak benar-benar membayangkan akibatnya: banjir bandang, kabut asap yang bikin anak sakit, panas ekstrem, satwa liar yang kelaparan. Kerusakan itu terasa “jauh”, padahal efeknya cepat atau lambat akan mengetuk pintu rumah kita sendiri.

Capek memang melihatnya. Tapi justru karena itu suara-suara kecil yang masih peduli nggak boleh hilang. Kita mungkin nggak bisa mengubah semuanya sendirian, tapi setidaknya kita bisa jadi pengingat bahwa bumi ini bukan mesin uang, dan hutan bukan kas ATM yang tinggal ditarik sesuka hati.

Exit mobile version