Pandemi membuat banyak belajar, salah satunya belajar berpikir lebih dewasa. Orang mungkin melihatku aneh atau berbeda dari kebanyakan orang, tapi bukan berarti aku mengikuti pikiran yang seragam.
Overthinking, parnoan, atau apalah. Itu cap yang bisa saja orang berikan padaku. Padahal aku tak merugikan mereka dengan pikiranku. Kepalaku hanya lebih berisik dengan hal-hal lain yang bagi mereka biasa.
Usiaku sudah tak muda lagi. Makin tua justru makin sadar bahwa masih banyak kurangnya. Kurang paham, kurang ilmu, kurang yakin apakah pendapatku keliru atau tidak. Dulu waktu kecil, hidup terasa sangat simpel: guru bilang A, ya A. Orang tua bilang B, ya B. Selesai. Tapi sekarang?
Setiap kali dengar pandangan baru—apalagi soal agama, moral, atau bencana yang terjadi di sekitar—aku bisa langsung mikir, ‘Eh… apa aku yang salah ya? Kenapa aku kayak kesentil gitu?’.
Di situ aku mulai sadar bahwa sering banget kita tanpa sengaja terjebak dalam cara berpikir hitam–putih. Kalau bukan takdir, berarti pasti ulah manusia. Kalau bukan salah pemerintah, berarti semuanya murni kehendak Tuhan. Padahal hidup nggak sesederhana itu. Bencana, keputusan manusia, kekacauan alam—semuanya saling terkait. Tapi karena otak kita suka jawaban cepat, kita memilih satu sisi saja lalu merasa paling benar. Di situ kadang masalahnya.
Lama-lama aku paham bahwa ini memang cara belajar orang dewasa bekerja. Kita nggak cuma menerima sesuatu mentah-mentah, tapi ikut mikir, membandingkan, mengolah, dan kadang mempertanyakan. Bukan untuk membantah, tapi untuk benar-benar memahami.
Dan rasanya, itu bukan tanda kurang beriman atau kurang pintar.
Justru sebaliknya.
Mungkin memang begini bentuk belajar yang lebih matang: ketika kita cukup rendah hati untuk mengakui masih banyak yang membingungkan, sambil tetap cukup berani untuk mencari tahu.
Aku juga jadi melihat perbedaan cara pandang sebagai hal yang wajar. Berbagi pandangan pun bagiku bukan berarti aku memaksa orang mengikuti. Aku hanya berusaha mengetuk pemikiran mereka, tetapi menerima atau tidak itu hak masing-masing.
Yang penting, kita tetap jujur pada proses bahwa belajar bukan soal siapa yang selalu benar, tapi siapa yang mau membuka ruang untuk memahami lebih dalam.
Pelan-pelan aku terima bahwa ini bukan kelemahan.
Ini cuma fase ketika kepala bekerja, hati ikut bicara, dan kita berusaha memadukan keduanya. Dari sinilah kedewasaan mulai tumbuh.
