Ada masa ketika kita berpikir pandemi sudah selesai. Masker dilepas, aktivitas kembali normal. Hidup terasa seperti dulu.
Tapi banyak orang merasakan satu hal yang mengganjal: kenapa mental rasanya lebih rapuh? Kenapa berita buruk atau ketidakadilan cepat sekali melelahkan?
Jawabannya mungkin tidak sesederhana “orang sekarang lemah”. Bisa jadi, luka itu belum benar-benar sembuh.
Pandemi sebagai trauma kolektif
Pandemi bukan hanya krisis kesehatan. Ia pengalaman hidup–mati yang dialami bersama.
Kita menyaksikan:
- Orang kehilangan napas
- Rumah sakit penuh
- Oksigen langka
- Kematian datang tanpa pamit
- Sistem kesehatan kewalahan
Ini bukan peristiwa biasa. Ini trauma kolektif.
Trauma tidak selalu muncul sebagai mimpi buruk. Kadang hadir sebagai:
- Cepat lelah secara emosional
- Mudah tersentuh berita buruk
- Sulit merasa aman
Meski pandemi berlalu, sistem saraf kita belum tentu ikut tenang.
Infeksi dan pengaruh biologis
Selain pengalaman psikologis, ada faktor biologis yang sering dilupakan.
COVID dan beberapa infeksi virus lain dapat memicu:
- Peradangan pada sistem saraf
- Gangguan keseimbangan neurotransmitter
- Kelelahan berkepanjangan
Dampaknya bukan hanya fisik, tapi juga mental:
- Lebih mudah cemas
- Lebih mudah sedih
- Sulit fokus
- Emosi terasa lebih tipis
Banyak orang berkata:
“Aku dulu nggak begini.”
Dan itu wajar. Tubuh dan otak memang berubah.
Dampak kesehatan mental yang sering luput
COVID tidak hanya memengaruhi paru-paru. Ia juga memengaruhi kesehatan mental.
Penelitian menunjukkan:
- Kecemasan, depresi, dan stres meningkat setelah pandemi
- Orang yang terlihat pulih masih bisa mengalami: cemas berlebihan, sedih, sulit fokus, dan lelah emosional
Peradangan dari COVID memengaruhi sistem saraf dan keseimbangan kimia otak. Jadi, merasa lebih rapuh bukan berarti mental lemah—tapi tubuh belum sepenuhnya pulih.
Sayangnya, banyak yang didorong segera “move on”. Padahal luka yang tak terlihat bisa tumbuh lebih dalam. Lelah yang dirasakan bukan karena kurang kuat, tapi karena dipaksa kuat terlalu lama.
Luka lama terbuka kembali
Setelah pandemi, kita menghadapi:
- Musibah besar
- Penanganan yang mengecewakan
- Kebijakan yang abai pada kemanusiaan
Bagi mental yang belum pulih, ini pengulangan luka.
Hasilnya:
- Luka moral
- Distres psikologis
- Kelelahan empati
Ini bukan soal terlalu sensitif. Daya tahan manusia punya batas.
Ingin peduli tapi lelah
Sering muncul konflik batin:
- Ingin tahu, tapi capek
- Ingin peduli, tapi sesak
- Ingin membantu, tapi merasa kecil
Itu manusiawi.
Merawat diri bukan berarti berhenti peduli
Menjaga jarak dari berita bukan berarti apatis. Memilih tenang bukan berarti egois.
Dengan begitu, kita:
- Tidak hancur
- Tetap punya empati
- Tetap waras di tengah kekacauan
Orang yang sehat mental lebih mampu peduli dalam jangka panjang.
Berproses perlahan
Jika hari ini kamu lebih mudah lelah, lebih sensitif, atau cepat marah—bukan berarti gagal.
Kamu manusia yang:
- Pernah hidup dalam krisis
- Pernah takut kehilangan
- Belum sepenuhnya pulih
Dan itu tidak memalukan.
Pelan-pelan saja. Bernapas. Merawat diri. Dunia belum sepenuhnya sembuh, tapi kita masih bisa menjaga diri sendiri.
