Parenting di Era Virus Nekat: Tetap Waras, Tetap Peduli

Ilustrasi by Gemini

Jadi orangtua di era sekarang itu rasanya kayak main game level susah tanpa tutorial. Bukan cuma harus mikirin bekal buat sekolahnya, tapi juga siap menghadapi virus yang muncul lebih tiba-tiba daripada flash sale tengah malam.

Ada anak yang batuk sedikit langsung istirahat di rumah, ada juga yang batuknya sudah nyaris jadi soundtrack keras tapi tetap berangkat sekolah.

Padahal … tubuh anak itu bukan powerbank unlimited. Ada saat-saat dia lowbat dan butuh di-charge. Tapi kadang kita sebagai orang tua menganggap mereka  kuat, “Ah cuma pilek kok.”

Pelan-pelan yuk, di era virus nekat begini, jangan sampai orang tuanya ikut nekat.

1. Virusnya Nekat, Orang Tuanya Jangan Ikut Nekat

Belakangan ini, “anak sakit tapi tetap sekolah” kayak budaya kecil yang susah hilang. Alasannya macam-macam: nggak ada yang jagain di rumah, sayang uang SPP, atau “masa izin lagi?”.

Tapi coba bayangin begini, kalau HP lowbat  aja kita buru-buru charge, masa anak yang lagi lowbat malah dibiarkan ‘keluyuran’?

Anak boleh tangguh, tapi tubuhnya tetap butuh perlindungan. Jangan sampai ketangguhan yang dipaksakan malah memperlambat penyembuhannya.

2. Masker: Etika Sederhana

Masker itu bukan simbol mencekamnya awal pandemi. Masker itu etika kecil yang melindungi banyak orang. Tapi ya… kenyataannya masih banyak yang malas pakai masker saat sedang sakit.

Kadang imbauan sekolah cuma jadi pajangan, tempelan cantik yang jarang dipraktikkan. “Sesak kalau pakai masker,” katanya. Ya sudah, kalau sesak, istirahat di rumah. Simpel, tapi entah kenapa sulit.

3. Istirahat Itu Bukan Hukuman

Ada orang tua yang takut banget kalau anak disuruh istirahat. Takut ketinggalan materi, takut dianggap manja, takut makin bosan.

Padahal istirahat itu bukan hukuman, itu bagian dari proses penyembuhan. Sama kayak HP yang butuh di-charge, anak juga perlu jeda.

Jangan tunggu baterainya benar-benar habis baru panik cari charger.

4. Jaga Jarak Bukan Dinginnya Hati, Tapi Bentuk Sayang

Kadang kita salah paham. Jaga jarak saat sedang sakit dianggap nggak peduli. Padahal justru itulah bentuk peduli. Kasih sayang itu hangat, tapi bukan berarti harus tukar-tukaran virus.

Kalau ada yang batuk, bersin, atau demam, sedikit jarak bisa jadi banyak pertolongan. Sayang itu bukan soal seberapa dekat, tapi seberapa aman. Atau minimal bermasker meski itu di rumah. Jadi nggak pingpong virus seisi rumah.

5. Kita Semua Saling Terhubung (Mau atau Tidak)

Ini bagian yang sering terlupakan. Kesehatan itu bukan urusan individu saja. Anak kita sehat karena anak-anak lain juga sehat. Lingkungan kita aman kalau semua saling menjaga.

Nggak mungkin anak kita kuat sendirian di tengah banyak anak lain yang sedang sakit. Kekuatan itu efek domino—kalau satu dijaga, yang lain ikut aman.

Jadi Orang Tua di Era Virus Nekat Itu…

Butuh sabar, butuh peduli, dan butuh hati yang mau belajar terus. Kita nggak bisa mengubah semua orang, tapi kita bisa mulai dari rumah sendiri.

Jaga anak saat sakit bukan tanda overprotective, tapi tanda sayang. Memilih istirahat bukan kelemahan, tapi keputusan bijak.

Di era virus yang makin nekat, yuk jadi orang tua yang tetap waras, tetap peduli, dan tahu kapan harus pasang “payung” sebelum badai datang.

Semangat sehat semuanya 🫶