Belakangan ini sekolah lagi gencar-gencarnya bikin acara—dari field trip sampai Perkemahan Jumat–Sabtu (Perjusa). Buat anak-anak sih seru banget. Tapi buat orang tua di musim sakit seperti sekarang? Rasanya… nano-nano.
Waktu field trip, aku masih memperbolehkan anak ikut. Tapi untuk Perjusa, aku akhirnya memutuskan, nggak dulu.
Bukan karena lebay, tapi karena melihat kondisi yang memang bikin hati waswas.
Sekolah masih punya waktu sekitar seminggu sebelum Ujian Akhir Semester (UAS). Dalam seminggu itu, risiko tertular dari sekolah atau mana pun masih terbuka lebar. Batuk pilek sekarang cepat banget menular—kayak ditiup angin saja, langsung pindah orang.
Tapi tetap terasa beda antara risiko harian di sekolah… dengan risiko gambling di kegiatan seperti Perjusa.
Perjusa itu kegiatan intens, panjang, tidur bareng, interaksi kumpul ramai-ramai, dan fisik terkuras. Satu anak kurang fit saja biasanya cepat menular ke yang lain. Dan kalau sakit tepat seminggu sebelum UAS? Ya sudah, buyar semua.
Kadang aku bertanya-tanya: sekolah ini masih hidup di “mode sebelum pandemi”, ya?
Dulu, sebelum tahun-tahun berat itu, rasanya penyakit nggak sekejam dan secepat sekarang. Anak batuk sedikit, jarang menular ke satu kelas penuh. Sekarang? Satu bersin saja bisa memicu efek domino se-ruangan.
Tapi anehnya, beberapa sekolah seolah masih pakai cara berpikir lama:
“Anak perlu dilatih kuat.”
“Anak harus mandiri, jangan terlalu dijaga.”
“Namanya anak, wajar kalau sakit.”
Padahal konteksnya sudah berubah. Virusnya berubah. Polanya berubah. Bahkan intensitas penularannya pun beda banget.
Sebagai orang tua, harapanku sederhana: beradaptasilah. Lihat situasi dan kondisinya. Jangan sekadar mengulang kalimat klasik tentang kemandirian, sementara angka anak sakit naik turun seperti grafik saham volatile.
Karena ketika anak benar-benar sakit, pertanyaan berikutnya selalu muncul:
Sikap sekolah bagaimana?
Apakah diberi kelonggaran?
Apakah anak diminta tetap masuk?
Apakah ada dukungan belajar bagi anak yang harus istirahat di rumah?
Atau justru orang tua yang disalahkan karena “tidak mengizinkan anak ikut kegiatan”?
Pada akhirnya, setiap keluarga punya caranya sendiri melindungi anak. Ada yang mengizinkan anak ikut semua kegiatan. Ada yang selektif. Ada yang memilih aman dulu.
Tapi buatku, pencegahan selalu terasa lebih ringan daripada penyesalan.
Lebih baik absen di satu acara daripada absen seminggu penuh karena sakit.
Kalau kamu sendiri gimana?
Saat musim sakit begini, kalau sekolah ngadain acara besar, kamu pilih izinkan… atau jaga dulu sampai kondisi lebih aman?
Jangan lupa, kesehatan anak hari ini adalah investasi buat hari esok mereka 😉
