Siapa yang nggak senang berteman dengan orang yang suka bercanda, melontarkan lelucon atau humor. Tapi, bagi saya nggak semua lelucon itu lucu. Apalagi kalau bentuknya ngebully atau mengejek orang.
Saya juga sadar suka terjebak dalam bercanda kebablasan yang akhirnya malah ngebully orang lain. Kalau sudah begini orang kan bisa marah. Coba posisikan kalau yang dibully itu diri sendiri.
Terus bagaimana dunk bercandaan yang enak didengar?
Buat saya bercanda bisa apa saja, asal bukan mengejek seseorang, bukan merendahkan seseorang, bukan menakut-nakuti. Kalau ketiga faktor itu masuk dalam candaan, itu saya anggap sudah ngebully 😀
Pernah nggak mengalami, seseorang yang awalnya bercanda terus menyinggung orang lain. Nah giliran orang yang tersinggung protes, orang yang bercanda malah jawabnya, “Kan cuma bercanda”, “Kamu sensitif banget sih”. Kalau begini siapa yang salah? Yang bercanda nggak mau dibilang salah, padahal sudah menyinggung orang. Ujung-ujungnya ngedumel deh. Lebih baik minta maaf kan 🙂
Sebenarnya, apa sih itu lelucon? Menurut Psikologi Lynne Namka, Ed. D., lelucon itu membuat kedua pihak–baik itu yang melucu atau mendengarkan–merasa senang. Selain itu, orang yang sensitif merasa lebih baik dan orang yang sedang bad mood menjadi lebih baik kondisinya.
Menurutnya, bercanda apakah itu dalam lingkungan keluarga atau pertemanan dibuat untuk menyenangkan dan menciptakan kenyamanan semua pihak, bukan untuk kepuasan orang yang ingin merendahkan orang lain.
Bercanda tapi menyakiti orang lain itu seperti- “Saya bisa mengatakan sesuatu yang membuat saya merasa lebih baik dan saya tidak peduli apa efeknya terhadap Anda.” Orang kayak begini ini yang sukanya menghindari tanggung jawab.
Apa sih biasanya yang terjadi sesudah orang bercanda? Tentu diakhiri dengan tertawa. Tertawa itu bisa untuk memperkuat hubungan dan mengurangi stres. Tapi ada cara lain biar ngurangi stres tanpa mengejek orang.
“Sebuah bentuk yang lebih tinggi dari humor adalah mengolok-olok diri sendiri atau situasi atau humor tentang kelemahan manusia. ”
Jadi, daripada mengejek orang lain mending mengejek diri sendiri 😀
“Kita ini lucu dan dapat menertawakan diri sendiri untuk membantu kita mengatasi stres sehari-hari.”
Nah, kata Dr Namka, kalau kita nggak suka dengan candaan orang jangan diam. Coba saja katakan, “Itu bukan lelucon” atau “Itu tidak lucu”. Tentu dengan baik-baik ya, biar nggak ada yang tersinggung.
Anda yang berada di sekitarnya juga ikut bantuin teman yang disudutkan. Apabila orang di sekitar berdiri dan mendukung korban lelucon, si pengganggu tentu mundur. Si pengganggu senang apabila “penonton” tertawa atau diam yang artinya setuju dengan apa yang dilakukannya.
Ini bukan tulisan menggurui lho, tapi untuk mengingatkan diri ini juga. Kadang-kadang suka mikir kalau habis bercanda ada yang tersinggung nggak ya, soale nggak semua bereaksi. Ada yang memilih diam agar tak memperkeruh situasi.
Mulai sekarang pilah-pilah bahan candaanmu, agar tak menyakiti orang lain 🙂
Bener Mel, aku juga sering kebablasan becandanya. Butuh diingetin terus menerus supaya bisa lebih berhati2 becandanya
Iya ya, knp ya klo becanda suka lupa smp kebablasan 😀
Mungkin karena kontrolnya jd kurang pas becanda. Makanya perlu saling mengingatkan. Setuju juga dengan pernyataanmu kalo memang gak suka dengan becandaan seseorang ya lebih baik diutarakan.
Betul..betul.. setuju mbk 🙂
Bahkan dari bercanda yang keterlaluan itulah timbul perselisihan dan kadang bisa adu jotos.
Menertawakan diri sendiri mungkin lebih sehat.
Betul mbk, gara2 bercanda bs jd diem2an pula. Soale saya pernah gara2 kebablasan. Rasanya nggak enak banget 🙁
saya belum ganti kelamin, masih PRIA, 🙂
Waduh, maaf mas bro, hehehe…