Baper itu singkatan dari bawa perasaan bukan? Bisa juga dibilang sensi atau supersensitif donk. Apa-apa masukin ke hati. Terus sedih, nangis berebes. Tapi, orang yang baperan kok kayaknya salah ya. Itukan suka-suka orang itu.
Manusia itu punya perasaan, mau marah kek mau sedih atau mau baperan sekalipun ya mau bagaimana lagi. Jangan samain orang baperan sama kita yang nggak baperan. Rambut boleh sama hitam, tapi kan hati belum tentu sama.
Baper kayaknya lagi trending topic ya belakangan ini. Orang baperan mau curcol di media sosial juga hak dia. Memang sih, kita yang baca jadinya males. Masa sedikit-sedikit sensi sih.
Biarlah orang itu menyuarakan isi hatinya. Siapa tahu dengan cara itu dia bisa lega. Kalau nggak suka gampang kok, jangan dibaca tulisan dia di media sosial. Lewatin aja timelinenya daripada nanti bapernya menular 😀
Saya dulu pernah nulis di blog soal curcol di media sosial. Bisa cek di link ini.
Kalau kita baperan dan kebaperan itu malah mengganggu orang lain, yang salah siapa? Orang yang baper atau yang ikut-ikutan baper? Hehe.. Hidup kok dibuat repot, nggak mau ikutan baper ya sutralah, jangan kebawa kebaperannya, hehe..
Cuma gini ya, sebagai orang awam yang sadar diri suka baper juga. Inget-ingetlah kalau mau baper di muka umum atau media sosial. Berapa orang follower kita, terus kita ini siapa, terus bla bla bla yang lain juga dipikir. Siapapun bisa bebas nulis di media sosial dari anak-anak sampai udah kakek-kakek or nenek-nenek terserah, asal punya akun.
Saya juga orang yang superreaktif, nggak suka sesuatu langsung bereaksi. Yang penting bertindak dan sudah menyampaikan isi hati ini. Efeknya? Itu belakangan saya pikirkan. Tapi saya sadar diri sih, saya bukan orang tenar jadi mungkin masih aman kalau curcol kebaperan saya di media sosial.
Siapa sih saya ini, follower juga paling nggak peduli saya mau jungkir balik mau koprol mau gagoleran, hehe.. Cuma waspadalah..waspadalah..bisa jadi kali ini aman, tapi belum tentu berikutnya aman dari cibiran nyinyiran orang yang lama-lama gerah dengan curcol kebaperan saya.
Media sosial sekarang kejam cuy, sakitnya tuh bisa ngalahin nyelekitnya kegores pisau pas motong sayur. Sakitnya bisa langsung kena ke hati, makjleb, plus malu, plus terintimidasi, dan makin hebatlah kebaperan kita. *lebay*
Kalau menurut saya melihat dari kacamata kuda, orang baper itu nggak salah. Baper itu menunjukkan orang masih punya perasaan, bukan orang yang berdarah dingin. Malah orang baper memperlihatkan orang itu peka, superhati-hati, dengan lingkungan sekitarnya. Saking sensinya, apa-apa dibawa perasaan.
Semua orang pasti pernah baper kan? Bedanya cuma tingkat kebaperannya. Ada yang grade 10, ada yang satu. Yakin nggak pernah baper? Coba deh inget-inget. Masa ada yang 0 baper? Hehehe… Makin superbaper, gradenya tentu makin tinggi.
Biasanya sih cewek yang sering baper. Selain memang perasaannya lembut, kaum hawa suka bertemu dengan siklus bulanan yang hormonnya pun ikut andil dengan moodnya.
Kalau cowok baper bagaimana? Ada juga sih, cuma jarang ketahuan saja. Kebanyakan yang baper kalau lagi patah hati habis diputusin, lagi banyak kerjaan dikejar-kejar bos, susah tidur, atau usianya udah lanjut yang udah pensiun. Cowok juga ada masa PMSnya lho. Namanya Irritable Male Syndrome (IMS)
Psikoterapis Jed Diamond mengatakan, IMS bisa didefinisikan sebagai keadaan hipersensitivitas, frustasi, kecemasan, dan kemarahan yang berhubungan dengan perubahan biokimia, fluktuasi hormon, stres, dan kehilangan identitas pria. Jadi siap-siap kalau ketemu pria lagi IMS 😀
Tadi kan jenis kelamin. Kalau sekarang usia kali ya. Beda usia beda juga cara penyampaiannya. Makin dewasa makin pintar memendam, hanya dia dan rumput bergoyang yang tahu. Tapi ada yang nggak bisa menyembunyikan. Ini biasanya yang usia muda.
Makin muda makin menggebu-gebu dan sulit memendam emosi. Tapi, kalau udah ‘matang’ masih baperan itu kenapa? Mungkin orang itu lelah memendam atau kurang piknik atau stres berat. Segala kemungkinan bisa terjadi.
Sepintar-pintarnya kita menyampaikan curhatan kebaperan di media sosial, lihat dulu kita ini siapa. Kalau bukan siapa-siapa, bisa saja aman. Tapi kalau orang penting, beuh yakin siap dinyinyirin seantero media sosial?
Curcol dengan bahasa santun, terdidik, tetep saja masih dianggap lebay sama orang lain. Orang sekarang kan pinter-pinter dan kebebasan berpendapat malah membuat orang lupa berkata santun dalam berkomentar.
Di dunia nyata saja, orang baper dijauhin. Kasihan ya, masa orang baper nggak ditemenin. Apa takut ketularan kali ya makanya orang males deketin.
Mungkin karena emosi orang baper terlihat labil bikin orang jadi capek. Kita begini dia sensi, kita begitu dia sensi. Terus daripada salah, mending menjauh. Jadi harus bagaimana dunk?
Baperer (orang baper–red) harus bisa mengontrol diri. Jangan sedikit-sedikit baper. Pinter-pinter memposisikan diri di kerumunan orang atau media sosial. Artinya rem..rem… Nggak semua perasaan dan pikiran harus diketahui orang banyak. Kalau nggak bisa, menjauh saja atau hapus aja akun media sosialnya daripada kepeleset 😀
Anggap kita lagi di panggung, ditonton banyak orang. Curcolan kita itu seperti lagi ngomong pakai toa biar semua orang di bawah panggung tahu. Bayangkan, bagaimana sikap orang-orang yang mendengar curhatan kita. Bakal lempar botol air mineral, kabur, nimpuk telor busuk, atau kasih dukungan? *nggakbangethayalannya ya*
Hidup di era digital sekarang mah susah. Curhat yang sedikit lebay dianggap baper, posting foto travelling foto masakan atau ke resto cafe or mal dianggap pamer. Salah aja ya mau ngapain. Semua dinilai minus. Kayaknya enakan zaman dulu, saat media sosial baru ada Friendster, eaaaa..
Jangan panas ya. Ini cuma tulisan buat mengisi waktu luang biar nggak jenuh dan stres
Sekian