Banyak orang tua berpikir, kalau anak sudah bermasker maka mereka akan bebas dari penyakit. Padahal kenyataannya tidak sesederhana itu. Masker memang membantu mengurangi risiko, tapi tidak bisa menghilangkan risiko sepenuhnya, apalagi jika lingkungan sekolah tidak tegas terhadap murid atau guru yang sedang sakit.

Ketiga anakku masih rutin bermasker ke sekolah. Tapi aku tahu, di sekolah banyak anak berangkat pakai masker lalu melepas ketika sudah sampai. Karena itu aku selalu wanti-wanti—pakai terus, jangan buka sembarangan. Kalau ketahuan sengaja buka tanpa alasan, siap-siap dapat ceramah panjang dari saya di rumah.
Kenapa masih bisa tertular meski bermasker?
Karena ada momen-momen di sekolah yang membuat masker harus dibuka, seperti:
- Snack time,
- Lunch time,
- Saat minum,
- Saat wudhu,
- atau ketika anak sedang sangat berkeringat.
Ditambah lagi, kalau di kelas sedang banyak yang sakit, risiko penularan pasti naik. Jadi masker itu bukan tameng ajaib yang membuat anak 0% tertular—tapi dia mengurangi kemungkinan dan mengurangi keparahan bila tertular.
Aku juga meminta anak tetap bermasker ketika salat di sekolah. MUI sendiri memperbolehkan memakai masker saat salat demi menjaga kesehatan. Jadi aku mengikuti panduan tersebut.
Apakah masker bikin anak jadi lemah? Tidak
Justru dari pengalamanku, masker membantu anak-anak mengalami gejala yang lebih ringan.
Kalau dengar komentar “Maskeran bikin anak gampang sakit,” rasanya pengen jawab:
Yang aku lihat justru sebaliknya.
Virus yang masuk lebih sedikit → tubuh lebih siap → gejala lebih ringan.
Itu juga yang terjadi pada anak-anakku.
Pengalaman: influenza A pada anak bungsu
Anak bungsuku pernah kena Influenza A. Aku tahu karena pakai antigen mandiri yang bisa mendeteksi COVID, influenza A, dan B. Di marketplace banyak, dan aku memang sudah terbiasa mengetes sendiri sejak era COVID (anak-anak sih cuma protes karena nggak suka dicolok 😅).
Gejalanya:
- Demam 3 hari,
- Pilek ringan,
- dan yang paling melegakan: tidak memicu asmanya.
Padahal aku sudah sangat khawatir. Ternyata alhamdulillah gejalanya jauh lebih ringan dibanding prediksi.
Pengalaman: gondongan pada anak wedhok
Kakaknya juga pernah kena gondongan. Keluhannya hanya:
- Sakit leher ringan,
- Bengkak kecil.
Karena di kelas sedang ada kasus gondongan, saya langsung ngeh. Aku cek lehernya, benar sedikit bengkak. Langsung aku karantina di kamar, suruh maskeran terus.
Seperti biasa, kalau ada yang sakit aku selalu menemani tidur di kamar. Itu artinya aku pun bermasker nonstop. Kuping biasanya lecet karena masker dipakai terus minimal seminggu. Tapi ya sudah, demi kesehatan keluarga.
Dan kali ini, anak bungsuku sepertinya mulai menunjukkan gejala gondongan. Dia mengeluh sakit leher, dan sebagai ibu, aku langsung waspada. Anak bungsuku laki-laki, sudah vaksin MMR pula, jadi aku berharap besar gejalanya bisa ringan seperti kakaknya dulu. Tapi tetap saja rasa cemas itu ada—apalagi gondongan ini bisa menyebabkan komplikasi tertentu pada anak laki-laki.
Terbukti kan, musim tular-menular di sekolah itu seperti nggak ada habisnya. Kasus gondongan sudah muncul sejak beberapa bulan lalu dan masih terus berputar sampai sekarang. Dulu anakku masih aman, tapi kali ini entah bagaimana. Semoga bukan gondongan, dan kalaupun iya, semoga gejalanya ringan dan cepat pulih.
Jadi, apakah percuma maskeran?
Tidak ada yang percuma.
Aku melihat sendiri efeknya pada anak-anakku.
Mereka tetap tertular (karena masker bukan tembok baja), tapi:
- Tidak sampai berat,
- Tidak memicu asma,
- Tidak perlu opname,
- Dan pulih lebih cepat.
Masker tidak menjanjikan kebal, tapi ia memberi pelindung ekstra—dan sering kali itu cukup untuk membuat perbedaan besar.
Bagiku, itu sudah lebih dari cukup.
Semoga tulisan ini membantu orang tua lain memahami bahwa pencegahan sekecil apa pun tetap berarti. Kita ingin anak-anak tetap sehat, tetap bisa sekolah, tetap bisa bermain, dan tetap tumbuh dengan baik ❤️