Catatan ringan, bukan untuk menggurui—sekadar ajakan berpikir bersama.
Dalam beberapa tahun terakhir, kita melihat pola yang sama: peringatan dari para ahli muncul lebih dulu, tapi kepedulian masyarakat muncul paling belakangan.
BMKG sudah berkali-kali memberi informasi tentang siklon dan cuaca ekstrem, tapi tetap ada yang tersapu angin kencang karena merasa “ah cuma hujan biasa”.
Pakar kesehatan sudah menjelaskan risiko long Covid, tapi banyak yang menganggapnya ‘lebay’ atau ‘drama pandemi’.
Tulisan ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Kita cuma mencoba memahami,
Kenapa kita sering menyepelekan info yang sebenarnya penting untuk diperhatikan?
1. Kita baru percaya setelah melihat sendiri
Secara psikologis, manusia lebih responsif pada bahaya yang terlihat langsung.
Siklon yang masih jauh di laut terasa abstrak.
Long Covid yang munculnya belakangan terasa ‘tidak nyata”.
Padahal, justru karena efeknya tidak langsung, peringatannya jadi penting.
2. Normalisasi risiko: kebiasaan yang membuat kita kebal rasa
Kalimat seperti:
- ‘Banjir mah tiap tahun.’
- ‘Cuaca begini biasa kok.’
- ‘Covid kan udah lewat.’
…membuat kita lengah. Sesuatu yang sering terjadi dianggap kewajaran, padahal dampaknya tetap besar.
3. Informasi ilmiah kalah dari informasi emosional
BMKG dan ahli kesehatan sering bicara dengan data.
Masalahnya: manusia bergerak karena emosi, bukan angka.
Informasi benar kalah dari:
- Postingan viral
- Opini influencer
- Drama yang menggugah emosi
Bukan salah masyarakat. Sistem informasinya memang begitu.
4. Penyampaiannya kadang terlalu teknis
Ahli bicara ilmiah karena ingin akurat, tapi kadang terasa jauh dari kehidupan sehari-hari.
Padahal publik butuh:
- Bahasa sederhana
- Contoh nyata
- Cerita yang relatable
Bukan karena sains kurang benar, kadang hanya kurang dekat.
5. Disaster fatigue & pandemic fatigue
Kita sudah melewati pandemi panjang. Banyak yang capek.
Saat capek, manusia memilih tidak mau peduli dulu.
Ini manusiawi… tapi berbahaya.
Bagaimana agar peringatan tidak diabaikan lagi?
1. Sederhanakan pesan
Peringatan publik sebaiknya:
- Singkat
- Jelas
- Tanpa istilah teknis
- Fokus pada tindakan praktis
Contoh:
“Potensi banjir tinggi hari ini. Hindari kawasan X–Y. Jangan parkir mobil di area rendah.”
2. Ahli perlu lebih dekat dengan publik
Kolaborasi dengan konten kreator, infografik sederhana, contoh kasus nyata—itu semua membantu mengikat perhatian publik yang sudah penuh.
3. Media perlu menyeimbangkan dramatisasi dengan edukasi
Bukan hanya breaking news, tapi juga:
- Mengapa bencana terjadi
- Apa langkah pencegahannya
- Apa makna data BMKG bagi kehidupan warga
4. Pendidikan risiko sejak dini
Kalau dari kecil kita dikenalkan pada risiko alam & kesehatan, pola ‘mengabaikan peringatan’ perlahan hilang.
5. Pencegahan jauh lebih murah daripada penanganan
Siklon & Cuaca Ekstrem
Patuh pada peringatan BMKG = kerusakan lebih kecil, evakuasi lebih cepat, nyawa terselamatkan.
Long Covid
Langkah sederhana seperti masker saat sakit, vaksinasi, dan tidak memaksakan diri ketika tubuh lelah bisa mencegah risiko jangka panjang yang jauh lebih sulit dan mahal untuk ditangani.
Kenapa ada yang menganggap sains itu syirik?
Ini juga salah satu alasan peringatan ilmiah diabaikan.
Sebagian orang mengira bahwa percaya pada prediksi cuaca, virus, atau riset kesehatan berarti ‘melawan takdir’.
Padahal ilmu pengetahuan adalah alat, bukan tandingan Tuhan.
Dalam banyak pandangan keagamaan, ilmu justru bagian dari ikhtiar.
BMKG mempelajari pola angin bukan untuk menandingi kuasa Tuhan, tapi agar manusia bisa bersiap.
Dokter meneliti virus bukan untuk mengganti takdir, tetapi untuk memperkecil risiko.
Ikhtiar dan iman itu berjalan beriringan.
Akhirnya… ini bukan tentang percaya atau tidak percaya
Ini tentang masa depan anak-anak kita.
Tentang keluarga yang berhak aman dari bencana dan penyakit jangka panjang.
Tentang bumi yang terus berubah dan menunggu kita untuk lebih siap.
Pencegahan adalah bentuk cinta yang sederhana. Cinta pada diri sendiri, keluarga, dan pada kehidupan yang ingin terus kita jaga.