Catatan Seorang Ibu yang Cuma Mau Melindungi Anaknya

Hari ini seharusnya jadi hari yang menyenangkan. Anakku lomba choir—momen dia melangkah ke panggung dengan bangga, setelah berhari-hari latihan dan menunggu giliran tampil. Tapi entah kenapa, di momen yang seharusnya penuh rasa gembira, ada saja hal yang membuat hati seorang ibu jadi berat.

Panitia bilang, anak nggak boleh pakai masker.

Aku sempat diam. Bukan karena marah, tapi heran “kenapa ya”, di tahun segini, masih ada orang yang sulit beradaptasi dengan pilihan kesehatan masing-masing? Kenapa memakai masker dianggap masalah, seolah masker bisa merusak penampilan panggung?

Padahal buat sebagian orang, masker bukan simbol ketakutan. Masker itu bentuk sayang. Bentuk usaha kecil menjaga anak yang tubuhnya mungkin lebih sensitif, keluarga yang rentan, atau sekadar memberi rasa tenang bagi orang tua.

Tapi ketika aturan dibuat tanpa ruang untuk kondisi individu, rasanya seperti kita dipaksa memilih: ikut atau minggir. Padahal hidup nggak sesempit itu.

Akhirnya aku memilih satu hal yang paling masuk akal bagi seorang ibu, anakku tetap pakai masker.
Terserah mau dipindah ke barisan belakang. Terserah mau dianggap “nggak kompak”. Buatku, kesehatan anak lebih penting daripada kerapian yang dibuat-buat.

Dan silakan saja, cap aku ibu yang kaku, ibu yang belum move on, atau apa pun sebutannya.
Setiap ibu punya caranya sendiri untuk melindungi dan membentengi anaknya.
Ini caraku.

Kalau caramu berbeda? Ya nggak apa-apa. Tapi bukan berarti orang lain harus ikut persis seperti caramu. Dunia ini cukup luas untuk dua pilihan yang berbeda hidup berdampingan tanpa saling memaksa.

Dan kalau caraku tiba-tiba dianggap salah atau “mengganggu”, aku cuma ingin tahu:
apa alasannya?
Apa begitu sulit memberi ruang untuk satu anak menjaga kesehatannya?
Apa benar masker bisa mengganggu sebuah penampilan?
Atau sebenarnya, yang sulit itu bukan maskernya…
tapi ketidaksiapan sebagian orang dewasa menerima bahwa ritme setiap keluarga itu berbeda.

Dan mungkin di mata sebagian orang, aku terlihat salah.
Seolah aku tidak mempertimbangkan perasaan anakku sendiri. Padahal itulah yang paling aku pikirkan sejak awal.

Tapi kalau kita mau jujur, mencari siapa yang salah dalam situasi ini bisa jadi permainan tanpa ujung.
Yang satu berusaha melindungi anak, salah.
Yang satu memaksakan aturan yang tidak masuk akal, salah.
Semua orang merasa benar.
Tapi yang paling terdampak justru anak-anak, yang seharusnya tinggal bernyanyi tanpa beban.

Yang paling sedih bukan soal lombanya, tapi semangat anak-anak yang bisa patah hanya karena orang dewasa memaksakan standar yang tidak perlu. Kita sering lupa bahwa paksaan kecil bisa meninggalkan luka besar di hati anak.

Hari ini aku memilih berdiri di sisi anakku.
Karena keberanian seorang ibu bukan soal menantang aturan, tapi membela apa yang ia tahu benar untuk kesehatan dan ketenangan anaknya.

Semoga suatu hari nanti, orang-orang belajar bahwa adaptasi itu bukan tentang memaksa semua orang sama, tapi memberi ruang agar semua bisa merasa aman dengan caranya sendiri.