Baru saja aku membaca satu unggahan di Threads tentang pasien yang datang ke psikolog bukan karena masalah pribadi, tapi karena distres akibat ulah pemerintah. Bukan satu dua orang. Dan anehnya, atau justru tidak, aku merasa relate.

Aku sendiri kecewa melihat bagaimana pemerintah menangani musibah di Sumatra. Ada rasa marah, sedih, tak berdaya, dan lelah yang bercampur jadi satu. Sampai muncul pertanyaan sunyi dalam kepala: entah aku bisa bertahan atau malah ikut stres seperti mereka.
Perasaan ini bukan lebay. Dan bukan tanda kita lemah.
Aku bukan ahlinya tapi searching, informasi ini yang didapat.
Apa sebenarnya yang sedang terjadi?
Dalam psikologi, kondisi ini dikenal sebagai political distress atau policy-related psychological distress. Ini adalah tekanan mental yang muncul ketika seseorang merasa:
- Kebijakan pemerintah merugikan atau mengabaikan kemanusiaan
- Negara gagal melindungi warganya saat krisis
- Suara publik tidak didengar
- Tidak punya kontrol terhadap keputusan besar yang berdampak langsung pada hidup
Distres ini sering bercampur dengan fenomena lain yang saling tumpang tindih.
1. Moral injury (luka moral)
Awalnya istilah ini dipakai untuk tentara. Tapi kini meluas ke warga sipil.
Moral injury terjadi saat kita menyaksikan atau mengalami tindakan otoritas yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang kita yakini, dan kita tidak punya kuasa untuk menghentikannya.
Bukan cuma sedih. Tapi ada:
- Rasa dikhianati
- Marah yang dipendam
- Hilangnya kepercayaan
Dan itu menyakitkan secara psikologis.
2. Learned helplessness (ketidakberdayaan yang dipelajari)
Ketika berkali-kali melihat penderitaan terjadi, tapi setiap upaya protes, kritik, atau empati terasa sia-sia, otak mulai belajar satu pola berbahaya:
“Apa pun yang aku lakukan, nggak akan mengubah apa-apa.”
Inilah learned helplessness. Dampaknya bisa berupa:
- Apatis
- Mati rasa
- Lelah emosional berkepanjangan
3. Collective trauma (trauma kolektif)
Musibah besar yang ditangani buruk bukan hanya melukai korban langsung, tapi juga masyarakat yang menyaksikan.
Ketika penderitaan itu berulang, tidak diakui, atau dianggap biasa oleh penguasa, luka itu menjadi trauma kolektif. Kita sama-sama terluka, tapi sering dipaksa untuk tetap “normal”.
Kenapa sampai harus ke psikolog?
Karena distres ini nyata. Tubuh dan pikiran kita merespons ketidakadilan sosial sama seriusnya dengan ancaman fisik.
Gejalanya bisa berupa:
- Cemas berlebihan saat membaca berita
- Mudah marah atau menangis
- Sulit tidur
- Merasa masa depan gelap
Datang ke psikolog bukan berarti anti-pemerintah. Tapi tanda seseorang sedang berusaha bertahan secara mental.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan supaya tidak ikut hancur?
Bukan menutup mata. Tapi mengatur jarak sehat.
- Batasi konsumsi berita traumatis
- Validasi emosi diri sendiri: “Wajar aku marah.”
- Fokus pada hal kecil yang masih bisa dikendalikan
- Terhubung dengan orang yang punya empati, bukan sekadar opini
Peduli itu manusiawi. Tapi memikul semua beban negara sendirian bukan tugas kita.
Kalau hari ini kamu merasa lelah melihat negeri sendiri, itu bukan tanda kamu lemah. Bisa jadi, itu tanda nuranimu masih hidup.
Dan menjaga kesehatan mental di tengah kekacauan bukan bentuk egoisme, melainkan cara agar kita tetap waras, tetap peduli, dan tetap manusia.
Rasa tak berdaya menjadi pengalaman bersama
Saat ini, jujur saja, aku sebagai rakyat sering merasa nggak bisa berbuat banyak. Kendali ada di tangan pemerintah, sementara kami yang di bawah hanya bisa menunggu, berharap, dan bertahan.
Doa akhirnya terasa menjadi satu-satunya senjata yang benar-benar kami miliki. Kita berdoa agar keadaan membaik, agar para pemegang kebijakan tergerak nuraninya, dan agar penderitaan tidak terus berulang.
Berbagai upaya warga untuk saling menolong sebenarnya sudah banyak dilakukan—bantuan dari warga untuk warga, donasi, relawan, empati yang mengalir dari hati ke hati. Namun sering kali semua itu tetap terasa kurang, bukan karena niatnya kecil, melainkan karena masalahnya terlalu besar dan sistem tidak bergerak secepat yang dibutuhkan.
Rasa kecewa ini bukan sekadar emosi sesaat. Ia bisa menjadi moral distress—luka batin yang muncul ketika kita tahu mana yang benar secara kemanusiaan, tapi melihat pihak berwenang gagal melakukannya. Dan mungkin, yang paling melelahkan adalah kenyataan bahwa meski kita sudah berusaha peduli, hasilnya tetap terasa jauh dari cukup.
Lekas pulih negeriku 🥹
Bukan hanya dari luka yang terlihat, tapi juga dari lelah yang lama disimpan warganya.