Penyesalan apa yang kamu rasakan belakangan ini?
Sejujurnya aku sendiri masih bingung menyebut ini penyesalan terbesar atau bukan. Tapi akhir-akhir ini, memindahkan anak dari sekolah online ke sekolah offline sering membuat dadaku terasa agak sesak.
Di satu sisi, aku tahu anakku mungkin bahagia. Dia bisa bertemu banyak teman, tertawa bersama, dan merasakan pengalaman belajar di sekolah seperti anak-anak lain. Namun di sisi lain, keputusan memasukkannya ke sekolah offline berarti aku sadar sepenuhnya dengan risiko yang ikut masuk bersamanya.
Aku membuat keputusan ini dengan niat baik, dengan pengetahuan dan kemampuan yang kumiliki saat itu—meski kini hatiku sering bertanya-tanya sendiri.
Aku termasuk mama yang cerewet soal masker. Bukan karena berlebihan, tapi karena aku tahu tidak semua orang bisa, mau, atau sadar untuk melindungi orang lain saat sedang sakit. Di sekolah, kita nggak bisa memaksa siapa pun untuk tetap bermasker. Semua kembali pada kesadaran masing-masing.
Artinya, sejak hari itu aku juga seperti harus berdamai dengan kemungkinan terburuk: anakku bertemu teman, guru, atau siapa pun yang sedang sakit. Dia selalu bermasker, iya. Tapi ada waktu-waktu tertentu yang membuatnya harus melepas masker—saat snack time, lunch time, atau ketika salat zuhur. Momen-momen kecil yang dulu mungkin terasa sepele, kini terasa begitu besar di kepalaku.
Berat sekali rasanya. Seolah aku dipaksa menurunkan standar keamanan yang selama ini dengan susah payah kujaga untuk anakku. Dan di situlah aku sadar, mungkin ini bukan tentang standar yang menurun, melainkan tentang dunia yang memang tak pernah sepenuhnya bisa kita kendalikan.
Karena ternyata, aku tetap belum siap jika anakku tertular. Terlebih ketika kenyataan datang tidak lama setelah dia sembuh dari influenza A. Anakku mengalami benjolan di kelenjar getah bening. Ada beberapa benjolan yang akhirnya membuat kami harus mempertimbangkan tindakan biopsi.
Aku begitu berat menerimanya. Sampai-sampai aku memilih mencari second opinion, berharap ada jawaban lain, jalan lain, atau kemungkinan bahwa semuanya akan berhenti sampai di situ. Namun setelah pengobatan di dokter kedua, benjolan itu masih ada. Bahkan ada yang tambah membesar.
Dan pada titik itu, aku harus kembali menundukkan kepala. Menerima bahwa ya… biopsi tetap harus kami pilih.
Bukan karena aku menyerah, tapi karena kadang mencintai anak juga berarti berani melangkah sambil gemetar, sambil takut, dan sambil terus berharap dalam diam.