Sedih yang Berlebihan

Sumber foto:bodymindsoulspirit
Sumber foto:bodymindsoulspirit

Mata ini tak sadar meneteskan airnya dan hati terasa ingin menjerit ketika tahu mengaji membawa bayi yang masih menyusui itu tak diwajibkan. Mungkin itu aturannya dan saya harus ambil sisi positifnya.

Rutinitas saya yang kini hanya di rumah membuat ingin bersosialisasi dengan tetangga di sekitar, termasuk di kompleks perumahan. Selain arisan, saya memberanikan diri ikut pengajian yang rata-rata anggotanya sudah sepuh. Tapi, apa daya. Untuk niat mulia ini harus saya pendam dulu karena peraturan itu. Beralaskan kasihan bayinya dan takut sang bayi mengganggu sekitar, bayi dilarang nggak boleh dibawa ke pengajian.

Berhubuhg hati lagi sensitif bin lebay, tiba-tiba mata ini meneteskan airnya. Mungkin saya bisa belajar mengaji dari tempat lain yang memperkenankan membawa bayi.

Saya dulunya bukan tipe yang suka ikut pengajian. Kesibukan saya yang sehari-hari berkantor membuat saya tak bisa ikut mengaji di hari kerja. Kini, ketika kesempatan itu tiba saya pun tak bisa juga. Yang penting ada niat kan?

Saya sebenarnya boleh datang, asal tidak membawa bayi. Nggak mungkin saya meninggalkan bayi cantik ini di rumah sendirian demi mengaji. Kalau ada neneknya, biasanya saya menitipkannya ke nenek. Tapi, nenek nggak bisa setiap saat di sini karena ada kesibukan lain.

Menjaga anak dan menyusuinya juga berpahala bukan? Jujur, selain mencari pahala, menambah ilmu agama, saya ingin menambah teman. Pasti seru banyak kenalan baru meski mayoritas sudah sepuh. Cuma bagaimana lagi? Ilmu saya tentang agama masih cetek, mungkin memang begitu aturannya. Kembali lagi, ambil sisi positifnya. Jika saya berpikir negatif hanya buang-buang waktu.

Wajarkah jika saya sedih dan memutuskan sebaiknya saya tak ikut lagi meski ada nenek? Apa ini terlalu berlebihan? Ataukah ini kepenatan yang berkumpul dan puncaknya pemberitahuan “pelarangan” itu membuat air mata mengalir.

Biarlah air mata ini menetes agar hati ini lebih tenang. Dan tangan pun menekan huruf-huruf untuk merangkai kata-kata menjadi kalimat curhat. Terkadang saya perlu mengeluarkan air mata ini dan menuliskan dibanding saya pendam saja.

Pertemuan dua kali itu sungguh berarti. Saya mengenal beberapa ibu meski saya tak mengenal semua namanya. Terima kasih untuk kesempatan singkatnya 🙂