
Ketika orang tua memilih sekolah, biasanya ada tiga hal paling umum yang langsung dicentang: lokasi, biaya, dan akreditasi.
Maklum, memang itu yang paling terlihat di brosur. Gedung rapi, kurikulum ciamik, foto anak-anak senyum cerah di halaman depan—bikin hati orang tua leleh duluan.
Tapi sekarang, rasanya kita harus menambah satu poin penting lagi saat memilih sekolah:
Bagaimana sekolah menghadapi musim tular-menular penyakit?
Kelihatannya sepele, tapi percayalah capek banget kalau anak tiap bulan sakit.
Dan sayangnya, penyakit menular di sekolah itu bukan kejadian musiman kayak sale akhir tahun—ini kejadian rutin. Bergantian terus, tanpa cuti.
Aku yang di rumah saja sudah kewalahan, apalagi orang tua yang bekerja.
Izin sehari saja bisa bikin kepala pening antara tugas kantor, atasan, dan anak yang butuh perhatian.
Yang bikin miris, dari sekian banyak sekolah yang aku lihat di Tangerang Selatan, belum ada yang benar-benar disiplin dalam menghadapi musim penyakit ini. Polanya sering begini:
‘Mohon jaga kesehatan ya, kalau anak sakit istirahat dulu.’
— lalu habis itu, terserah.
Sekolah takut tegas, takut diprotes, takut jadi pihak yang disalahkan. Akhirnya, yang jalan cuma imbauan. Sistemnya setengah hati.
Padahal, satu aja anak sakit, ramainya bisa satu kelas. Bahkan satu sekolah.
Ketika sekolah peduli kesehatan itu jadi “kemewahan”
Beberapa waktu lalu, aku dengar cerita tentang salah satu sekolah di Surabaya yang SOP kesehatannya benar-benar jalan. Bukan cuma sekadar ditempel di papan pengumuman, tapi beneran diterapkan.
Anak yang sakit langsung dipulangkan dengan halus, guru peka, dan orang tua merasa dihargai. Rasanya kayak nemu oasis di tengah padang pasir pendidikan.
Lucu ya, hal yang harusnya biasa justru terasa seperti privilege.
Sementara di Jabodetabek—yang isinya manusia lebih padat dari antrean BTS meal waktu hype dulu—aturan kesehatan kadang cuma formalitas. Ada sih sekolah yang bagus, tapi ya… jarang. Banyak yang masih terjebak mindset “yang penting masuk dulu”, padahal satu anak sakit bisa nular ke satu kelas. Ujung-ujungnya semua tumbang, guru capek, orang tua panik, sekolah kelimpungan.
Padahal sederhana banget kok: anak sehat itu fondasi belajar.
Anak sakit → susah fokus → guru keseret drama → orang tua ikut pening.
Tapi anak sehat? Semua roda berjalan lebih mulus.
Aku tuh suka membayangkan kalau setiap sekolah punya tiga hal dasar ini:
- Komunikasi guru–orang tua yang jujur dan terbuka,
- UKS yang beneran berfungsi,
- kebijakan jelas soal kapan anak boleh masuk atau harus istirahat.
Nggak muluk-muluk. Cuma rasa peduli.
Kalau Surabaya bisa, harusnya Jabodetabek juga bisa. Nggak harus sempurna, tapi minimal sadar bahwa kesehatan anak itu investasi pendidikan.
Tentang istilah utang imun
Belakangan ini ada istilah yang sering lewat di telinga: utang imun.Katanya, anak sakit terus karena “bayar utang imun” setelah masa pandemi.
Jujur, aku kurang setuju.
Kalau kita pakai istilah “utang”, artinya harus ada akhir masa pembayaran dong. Tapi kenyataannya? Sudah bertahun-tahun sejak pandemi mereda, tapi musim tular-menular penyakit di sekolah tetap berjalan seperti biasanya—bahkan kadang lebih heboh.
Sampai kapan anak harus “membayar”? Setahun? Dua tahun? Selamanya?
Faktanya, penyebaran penyakit ini lebih banyak dipengaruhi lingkungan, protokol kesehatan sekolah, dan tindakan nyata saat ada kasus, bukan semata teori “utang imun”.
Jadi kalau ada yang bilang “wajar, lagi bayar utang imun”, aku cuma bisa jawab:
“Utangnya banyak amat, ya Bu… Bunganya berapa persen?”.
Tidak cukup mengandalkan kebijakan pemerintah
Apakah pemerintah turun tangan bisa menyelesaikan masalah ini?
Jujur, aku juga ragu.
Ingat banget waktu awal pandemi kemarin. SKB Empat Menteri itu bagus banget—setidaknya di atas kertas. Tapi pelaksanaan di lapangan? Yah… mari kita bilang aja: random.
Banyak sekolah tidak menerapkan aturan tersebut. Pelaksanaannya diserahkan per wilayah, dan begitu diserahkan per wilayah, ya hasilnya beda-beda seperti jajanan pasar.
Jadi, menunggu pemerintah bertindak sebagai solusi tunggal rasanya kurang realistis.
Saat memilih SD, seleksi jangan setengah hati
Untuk orang tua yang sedang memilih SD, ingat: enam tahun itu lama.
Salah pilih sekolah bisa bikin kita berkali-kali menghadapi drama absen, ke dokter, dan minum obat yang rasanya nggak pernah habis.
Selain kurikulum dan fasilitas, coba tambahkan pertanyaan ini:
“Sekolah ini punya aturan jelas nggak soal penanganan penyakit menular?‘
Jawaban mereka bisa jadi penentu apakah sekolah itu hanya memberi imbauan manis, atau benar-benar punya protokol kesehatan yang tegas.
Pengalaman pribadi: online vs sekolah formal
Aku pernah mencoba menyekolahkan anak lewat PKBM dengan sistem online. Secara konsep, aman banget dari risiko penyakit menular di sekolah.
Tapi aku juga manusia—kadang kurang tegas, kadang capek, kadang emosi duluan.
Akhirnya proses belajarnya nggak maksimal, dan anak pun stres melihat mamanya ngomel tiap hari. Duh, fase yang bikin pengen sembunyi di balik pintu kulkas.
Akhirnya aku pindahkan anak ke sekolah formal.
Saat masih online? Aman. Sakit pun paling ketularan kakaknya yang sekolah formal, dan itu nggak sesering sekarang.
Tapi begitu full offline, ya balik lagi: musim tular menular datang tanpa undangan.
Batuk pilek, demam, bergantian. Bahkan di sekolah itu musim gondongan, campak, flu singapura nggak ada habisnya berputar.
Setiap pilihan memang ada plus minusnya. Orang tua yang paling tahu kemampuan, kebutuhan, dan kondisi keluarga masing-masing.
Jadi, kapan musim penyakit di sekolah akan berakhir?
Jujur: kalau sekolah dan orang tua sama-sama tegas.
Kalau masih mengandalkan imbauan manis tanpa aturan jelas, ya begitulah hasilnya: tular-menular jadi agenda rutin.
Anak belajar itu penting.
Tapi anak sehat selama belajar itu jauh lebih penting.
Semoga makin banyak sekolah yang peduli, makin banyak orang tua yang sadar, dan makin sedikit anak yang jadi pelanggan tetap obat penurun panas.