Kadang aku merasa hubungan manusia dan alam itu mirip hubungan kita dengan kesehatan sendiri. Selama semuanya baik-baik saja, kita santai. Tapi begitu tubuh ngasih “peringatan”, baru deh panik cari tahu apa yang salah. Alam pun begitu.

Setiap kali ada bencana, kita geleng-geleng kepala. Seolah alam baru hari itu bicara, padahal ia sudah berteriak sejak lama.
Tanda-tanda itu sebenarnya hadir pelan-pelan. Misalnya air sungai yang semakin keruh, hujan yang turun tapi tanah sudah nggak mau menelannya, hutan yang digunduli tanpa jeda.
Tapi kita sibuk dengan hidup masing-masing, sampai akhirnya alam ‘mengetuk pintu’ dengan cara yang lebih keras.
Kita sering menikmati hasilnya tanpa memikirkan prosesnya
Udara segar? Syukuri.
Pemandangan hijau? Foto dulu.
Tapi siapa yang benar-benar menjaga?
Siapa yang bertanya: ‘Apa kabar bumi hari ini?’
Kita seakan baru merasa ada ‘ikatan emosional’ ketika alam mulai marah.
Ya, manusia sering lupa sampai akhirnya ada korban—rumah, keluarga, hidup, masa depan. Di titik itu, kita akhirnya tersadar bahwa kita bukan hanya hidup dari alam, tapi juga hidup bersama alam.
Saat banjir datang, kita baru bertanya ‘kok bisa?’
Saat hutan terbakar, baru muncul kesadaran ‘seharusnya kita jaga.’
Padahal di balik banjir, ada dapur yang hanyut.
Di balik tanah longsor, ada sekolah yang hancur.
Dan di balik setiap berita duka, ada seseorang yang kehilangan tempat pulang.
Bencana itu bukan angka statistik. Itu cerita hidup yang patah.
Sebagian orang bilang alam itu penyabar.
Tapi kesabaran apapun kalau dipaksa terus ya akhirnya pecah juga.
Yang bikin sedih, alam sebetulnya nggak pernah minta apa-apa.
Hanya butuh sedikit perhatian. Hanya butuh dijaga secukupnya.
Jangan ditebang berlebihan, jangan ditutup alirannya, jangan dibakar seenaknya. Jangan dicemari sembarangan, jangan dianggap kuat hanya karena diam.
Sekolah sibuk mengajarkan anak-anak untuk mencintai alam. Tapi di berita, kita melihat izin tambang bertambah, lahan dibuka semakin cepat, dan asap kebakaran dianggap “musim tahunan”.
Aneh ya. Seolah ada dua dunia: dunia pelajaran moral, dan dunia kebijakan.
Sering muncul satu pertanyaan dalam hati:
Kenapa kita mesti menunggu alam marah dulu untuk peduli?
Apakah kita memang baru bisa ‘belajar’ setelah dihukum?
Mungkin kita nggak bisa memperbaiki semuanya. Kita nggak punya kuasa sebesar itu. Tapi kita bisa mulai dari cara kita memandang bumi: bukan sebagai benda yang harus melayani, tapi sebagai teman hidup yang selama ini setia, meskipun sering diabaikan.