Penghakiman Lebih Cepat dari Pemahaman

Tulisan ini bukan diskusi aqidah, melainkan refleksi tentang lingkungan dan cara kita saling membaca. Mohon dibaca dengan hati yang tenang.

Seringnya aku cuma ingin menulis tentang bencana alam—tentang banjir, longsor, atau hutan yang gundul—tanpa harus terseret ke perdebatan teologis yang sebenarnya tidak pernah kumaksudkan. Tapi selalu ada saja yang membaca tulisan dengan kacamata supersensitif, baru melihat kalimat alam bergerak, langsung dianggap seperti menyingkirkan kehendak Tuhan.

Padahal… aku sedang membahas pohon tumbang dan bukit yang longsor, bukan sedang membahas persoalan teologi yang rumit.

Aku percaya Tuhan menciptakan alam dengan keteraturan yang indah. Air mengalir ke bawah, tanah rapuh kalau kehilangan akar, sungai meluap ketika jalurnya dipersempit. Itu bukan ‘alam bertindak sendiri’, tapi justru cara Tuhan menunjukkan bahwa ciptaan-Nya memiliki aturan yang bisa kita pelajari dan jaga.

Namun, terkadang ada orang yang merasa perlu segera ‘meluruskan’ pemahaman kita. Niatnya mungkin baik, tapi caranya sering terdengar seperti alarm yang terlalu mudah berbunyi. Seolah-olah setiap kalimat yang tidak sesuai persepsi mereka harus segera diberi tanda bahaya.

Kadang aku tersenyum sendiri. Mereka merasa sedang menjaga kemurnian iman orang lain, padahal sering kali yang mereka lindungi justru rasa cemas mereka sendiri. Dan itu manusiawi, kita semua pernah berada di posisi itu.

Yang agak ‘menyentuh hati’ itu ketika ada orang langsung menempelkan label ‘kurang ingat Tuhan’ atau bahkan ‘syirik’ hanya karena kita sedang membahas fakta di depan mata—hutan yang hilang, tanah yang gundul, sungai yang tak lagi sabar. Rasanya seperti salah paham yang berulang: kita bicara realita, mereka mendengar teologi.

Mereka bilang ingin ‘mengingatkan agar terhindar dari dosa’.
Tapi kadang, yang lebih melukai justru nada penghakimannya.
Kita semua tahu, dosa bukan ditetapkan oleh manusia, dan iman seseorang tidak bisa diukur dari satu kalimat yang mereka baca setengah.

Pada akhirnya, merawat bumi bukan soal siapa paling suci atau siapa paling benar. Kita hanya berusaha menjaga apa yang dititipkan Tuhan, dengan akal, rasa hormat, dan tanggung jawab yang sama-sama kita punya.

Dan mungkin, sambil menjaga bumi, kita juga perlu menjaga cara kita saling membaca: lebih pelan menilai, lebih lembut mendengar, dan lebih tulus memahami maksud baik satu sama lain.