Sampah selalu menjadi masalah negeri ini. Entah karena manusia yang belum terbiasa memilah sampah dengan benar, atau teknologi yang masih belum mampu mengolahnya.
Akhirnya ya, sampah di Tangerang Selatan diangkut. Coba lihat pekan lalu di Pasar Ciputat. Sampah menumpuk di pinggiran jalan. Aromanya benar-benar tak sehat. Pemandangannya juga jauh dari nyaman. Akhirnya, sampah itu ditutup dengan terpal, tapi masalahnya tetap ada—hanya tersembunyi, bukan terselesaikan.
Dampaknya bukan hanya soal bau dan pemandangan. Sampah yang menumpuk bisa menjadi sarang penyakit, menarik tikus dan serangga, dan mengancam kebersihan lingkungan sekitar. Anak-anak yang bermain di sekitar area ini, atau pedagang yang setiap hari harus berinteraksi dengan tumpukan sampah, ikut merasakan risiko ini.
Sayangnya, kesadaran memilah dan mengelola sampah masih minim. Banyak yang membuang sampah plastik, sisa makanan, dan sampah organik ke tempat yang sama, tanpa berpikir panjang. Sistem pengelolaan sampah di kota pun belum sepenuhnya efektif. Teknologi pengolahan yang ada masih terbatas, sementara volume sampah terus bertambah setiap hari.
Fenomena ini bukan hanya soal “kotor dan bau”, tapi juga cerminan dari perilaku dan budaya kita. Sampah yang menumpuk di pasar atau pinggir jalan adalah tanda bahwa kita masih perlu belajar bertanggung jawab atas limbah yang kita hasilkan.
Tapi memang mengelola sampah itu butuh ketelatenan. Aku pun masih kadang iya, kadang nggak.
Sanggup atau tidak?
Aku sering merasa bersalah saat menulis soal sampah. Karena di rumahku sendiri pun, aku masih sering menyerah.
Mencuci kembali sampah itu butuh waktu, tenaga, dan konsistensi—dan jujur, tidak selalu sanggup.
Aku akui, beberapa kali aku langsung membuang plastik yang kotor ke tempat sampah tanpa mencucinya lebih dulu. Jajan makanan pun masih sering pakai plastik, belum rajin membawa wadah sendiri.
Ini bukan karena aku nggak tahu dampaknya, tapi karena lelah… atau malas 🤔
Dari situ aku sadar, peduli lingkungan itu bukan soal tahu atau tidak tahu. Tapi soal sanggup.
Untuk sampah organik dan nonorganik, sebenarnya sudah aku pisahkan. Aku juga pakai jasa kompos yang mengangkut sampah dapur seminggu sekali. Ada iuran bulanan, dan tiga bulan sekali kami dikasih kompos dari sampah yang mereka olah.
Kenapa aku memilih pakai jasa mereka? Karena aku nggak yakin sampah organik yang diangkut tukang sampah di komplek benar-benar diproses. Mau bikin kompos sendiri pun, aku belum yakin bisa konsisten.
Hal-hal kecil seperti ini mungkin terlihat sepele. Tapi setiap usaha memilah dan merawat sampah adalah langkah nyata menjaga lingkungan. Kita memang tidak harus sempurna—yang penting terus mencoba. Meski melawan rasa malas dan lelah itu nggak mudah 😥
Fenomena sampah ini mengingatkanku bahwa kerja sama itu penting. Persoalan lingkungan bukan hanya urusan pemerintah atau teknologi semata. Ini soal kita—tentang kesadaran, tanggung jawab, dan rasa peduli pada lingkungan sekitar.
Karena lingkungan yang bersih dan sehat bukan hanya enak dipandang, tapi juga melindungi kita semua dari risiko yang sering kali tak terlihat.