Pukul 06.05 WIB pagi hari, anakku masuk ke ruang operasi. Sesuai jadwal, hanya bergeser beberapa menit. Di atas kertas, ini disebut operasi sedang. Tapi bagiku, tetap saja namanya operasi, dan kata itu selalu terdengar menakutkan.
Aku tahu rasanya. Tiga kali operasi caesar sudah pernah kulalui. Dan anehnya, meski tubuh ini sudah hafal dinginnya ruang operasi, rasa takut itu tidak pernah benar-benar pergi. Setiap kali pintu ditutup, kita selalu sadar satu hal, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di dalam kamar itu.
Mungkin karena di sana, kita benar-benar menyerahkan segalanya. Tubuh, nyawa, dan harapan.
Semua orang yang pernah mengalami atau menunggu operasi pasti berdoa hal yang sama. Semoga lancar. Semoga cepat selesai. Semoga pemulihannya baik. Semoga tidak ada komplikasi. Doa-doa sederhana, tapi berat karena lahir dari rasa sayang yang besar.
Hari ini anakku menjalani dua tindakan sekaligus, operasi eksisi biopsi dan sirkumsisi alias sunat. Ada benjolan multiple di lehernya. Dokter menyebutnya kelenjar getah bening, dengan dugaan TB kelenjar.
Sebagai ibu, tentu saja aku berharap itu bukan TB. Aku membayangkan rutinitas minum obat jangka panjang, efek sampingnya, lelahnya anak sekecil itu harus patuh pada jadwal yang ketat. Dan kalaupun ternyata bukan TB, aku berharap itu juga bukan sel yang menakutkan. Yang namanya saja sudah cukup membuat dada sesak.
Apa boleh aku memilih hasilnya bagus semua, Tuhan?
Aku tahu hidup tidak selalu memberi pilihan yang nyaman. Tapi pagi ini, di depan ruang operasi, aku nekat meminta. Karena menunggu sambil menahan kemungkinan terburuk rasanya benar-benar menguras napas.
Menunggu memang mendebarkan. Detik berjalan lambat, pikiran berlarian ke mana-mana. Tapi di sela kecemasan itu, aku mencoba percaya. Bahwa Allah sedang membimbing tangan para dokter di dalam ruangan sana. Bahwa setiap sayatan dilakukan dengan ilmu dan kehati-hatian. Bahwa anakku tidak sendirian.
Dan aku pun belajar satu hal lagi hari ini, menjadi orang tua bukan tentang selalu kuat. Kadang hanya tentang tetap berdiri, meski lutut gemetar, sambil terus mengamini doa-doa baik.
Semoga operasi ini berjalan lancar. Semoga hasilnya membawa kabar yang menenangkan. Dan semoga setelah semua ini, kami sekeluarga bisa bernapas sedikit lebih lega.
Aamiin.
Dan jika kelak aku membaca ulang tulisan ini, aku ingin ingat satu hal bahwa aku pernah takut, sangat takut, tapi aku tidak berhenti berharap.
Di depan ruang operasi itu, aku belajar menyerahkan hal-hal yang tak bisa kukendalikan, sambil tetap menggenggam doa sekuat yang aku bisa. Semoga apa pun hasilnya nanti, kami diberi hati yang lapang untuk menerima, dan kekuatan untuk menjalani. Karena cinta orang tua tidak pernah salah alamat, ia selalu sampai, meski jalannya kadang berliku.