Kabut di Kaca, Kabut di Kepala

Setiap sore tugasku selalu sama: jemput anak pulang sekolah. Biasanya sih mulus-mulus saja. Tapi hari itu berbeda. Aku baru lewat masa isolasi, baru benar-benar berani nyetir lagi di hari ke-10 setelah Covid. Tubuh sudah mendingan… tapi ternyata otakku belum sepenuhnya “online”.

Foto ilustrasi


Hujan turun deras. Aku masuk mobil, nyalain mesin, dan mulai jalan pelan. Tiba-tiba kaca depan berembun tebal banget. Pandanganku langsung blur. Aku panik. “Lho, kok gini? Kan AC sudah nyala?”.

Aku pencet tombol AC berkali-kali, matiin, nyalain lagi… tetap kabut. Jalanan untung sepi, jadi aku bisa merayap pelan macam siput yang bingung.

Semakin aku panik, semakin kaca makin nggak jelas. Dan lebih lucu lagi, aku sadar aku lupa wiper belakang itu letaknya di mana. Rasanya kayak pertama kali nyetir lagi setelah 10 tahun hilang ingatan.

Begitu sampai parkiran sekolah, aku langsung telepon suami sambil setengah frustasi. Dan dia cuma bilang, “Sayang… kamu nyalain mode AC otomatis. Ya mati sendiri dong.”

Aku cuma bisa diem. Oh. Oke. Pantesan…

Sore itu aku ketawa sendiri. Ternyata bukan cuma kaca yang berkabut. Kepalaku juga masih berkabut. Setelah aku baca-baca, memang brain fog setelah Covid itu nyata banget. Dan aku baru merasakannya secara harfiah—di tengah hujan, di mobil, dengan AC yang sok mandiri.

Dan sejak saat itu, aku belajar satu hal:
kadang tubuh bilang “aku sudah sembuh”, tapi otak bilang “tunggu, aku masih loading.”

Setelah sakit, tubuh dan pikiran nggak selalu pulih bareng. Dan kadang kita perlu berhenti sebentar, menarik napas, dan bilang ke diri sendiri, “aku sudah cukup untuk hari ini.

Dan tahu nggak… sejak saat itu aku sadar satu hal, setiap kali aku kelelahan atau kurang tidur, otakku balik lagi jadi lemot. Rasanya seperti ada delay setengah detik antara niat dan gerak tubuh. Bahkan pernah aku salah injak rem dan gas. Untung cuma pelan, tapi tetap bikin jantung ikut olahraga tanpa disuruh.

Anehnya, tiap lihat berita kecelakaan mobil di jalan, pikiranku suka melayang ke pengalaman itu.


Bukan menyalahkan siapa-siapa, tapi aku jadi bertanya dalam hati,


“Apa jangan-jangan otak mereka juga lagi kayak punyaku waktu itu? Lagi berkabut, lagi telat diproses, lagi capek luar biasa?”

Kadang kita ngira semua orang di jalan itu 100% waspada. Padahal bisa jadi mereka sedang membawa kepala yang nggak sepenuhnya jernih—karena sakit, karena stres, karena kurang tidur… atau karena hidup memang lagi berat.

Dan pengalaman kecilku itu jadi pengingat: bahwa kadang bahaya bukan datang dari jalanan, tapi dari otak yang belum selesai pulih.

Penutup

Sejak kejadian itu aku belajar untuk lebih jujur sama tubuh sendiri, terutama sama otak yang kadang pura-pura kuat. Kita sering merasa “ah, cuma capek dikit”, padahal kepala kita sudah minta izin untuk istirahat. Dan kalau nggak didengar, ya jadinya suka error sendiri.

Sekarang tiap aku mau nyetir, aku tanya dulu dalam hati, “Kepala lagi jernih, atau masih berkabut?”


Bukan lebay, tapi aku tahu rasanya nyetir dengan otak yang telat loading setengah detik. Nggak nyaman, nggak aman.

Dan mungkin itu juga yang sering kita lupa: pulih itu nggak harus terburu-buru. Kita cuma perlu sadar kapan harus jalan, kapan harus pelan, dan kapan harus berhenti sejenak biar semuanya kembali jelas—baik kaca mobilnya, maupun kepala kita.

Semoga kita semua bisa lebih sayang sama diri sendiri, karena kadang keselamatan itu bukan soal rem atau gas… tapi tentang seberapa jernih pikiran kita saat memegang kemudi.
Semangat sehat selalu 😉