Setiap ibu yang habis cuti melahirkan pastinya memiliki perasaan yang sama dengan saya. Kenapa saya menyebut ‘setiap’ dan ‘pasti’? Karena saya yakin, ibu mana yang tega meninggalkan anaknya yang masih kecil.
Saya sangat bersyukur bisa mendapat cuti melahirkan lumayan lama, sekitar 6 bulan. Tiga bulan memang jatah aslinya, sementara tiga bulan tambahan (tanpa gaji) atas kebaikan atasan saya. Tapi, bagi saya jatah itu masih kurang saja. Apalagi yang hanya jatah 3 bulan. Bisa kebayang beratnya kaki sang ibu melangkah.
Apabila pemerintah membuat kebijakan baru dengan mengatur waktu minimal jatah cuti melahirkan untuk karyawati perusahaan, saya sangat setuju apabila minimal 6 bulan. Syukur-syukur 2 tahun, anak bisa terus ASInya.
Enam bulan itu diberi juga karena berbagai alasan, salah satunya kondisi kesehatanku.
Memang, waktu 6 bulan itu sungguh berarti. Selama itu saya bisa selalu menyusuinya dan melihat perkembangannya dari waktu ke waktu, serta bermain-main bersama putra pertama. Namun, saat saya harus kembali mengantor hati ini semakin berat. Saya ingin bisa selalu mendampingi kedua buah hati kami.
Wanita memang sebaiknya di rumah. Dari hati saya yang paling dalam, saya sangat menghormati wanita yang memilih menjadi ibu rumah tangga. Saya pun punya impian suatu saat nanti akan menjadi ibu rumah tangga. Tapi…. Yah, apalagi kalau alasannya bukan karena roda perekonomian.
Hidup zaman sekarang gila-gilaan biayanya. Saya bekerja karena keinginan, bukan paksaan suami. Rasanya nggak tega melihat suami kerja sendiri di saat kredit ada di mana-mana. Apalagi kredit itu diambil saat kami berdua bekerja. Jika sudah sedikit longgar bisa bernapas, itulah waktunya saya mewujudkan impian tersebut yakni menjadi Full Time Mommy (FTM).
Kini, waktu enam bulan itu hampir habis. Saya harus segera mengantor. Inginnya saat mengantor, anak sudah masuk MPASI. Tapi, masih 11 hari lagi waktu mpasinya. Moga Asip yang tersedia cukup dan anakku bisa lulus ASI Ekslusif.
Berkantor artinya saya harus menemui lagi kemacetan Jakarta yang sudah superparah dan tuntutan tugas yang tak ada hentinya. Moga saja ASI masih lancar dan banjir, amin..
Serba Telat
Sejak hamil saya bertekad, setelah melahirkan saya hanya akan di rumah alias resign. Tapi, semua berubah. Rencana resign harus mundur karena berbagai alasan.
Tekad resign itulah yang membuat saya begitu santai tidak melatih anak saya minum asip. Saya merasa yang saya lakukan itu salah. Seharusnya saya tetap melatih anak saya minum asip pakai botol atau sendok.
Karena kecuekan saya itu, saya baru melatihnya ketika bayiku berusia 3 bulan. Agak-agak susah juga. Sampai usia 5 bulan saja, jarang berhasil minum ASIP habis. Kalau nggak dilepeh-lepeh, disembur, ditendang, atau dibuang karena sudah lewat batas waktu.
Sedih rasanya, hasil perahan yang susah payah itu terbuang sia-sia. Tapi, namanya juga usaha. Saya yakin putri cantik mau minum asip ketika mamanya kerja.
Sabar ya Nak, semoga mama bisa segera jadi FTM. Syukur-syukur bisa berbisnis juga dari rumah, amin…amin…