Ruang Untuk Perah ASI di Kantor, Wajib Ada Donk

Rabu, 17 Desember 2014, adalah hari pertama saya masuk kantor setelah cuti selama enam bulan. Kagok pas pertama masuk, untung nggak lupa jalan masuk kantor, hahaha.. Sejak awal saya memang berniat memberikan anak saya ASI meski saya mengantor. Tapi, saya agak kecewa saat di kantor.

Kekecewaan itu bukan karena kenapa-kenapa, tapi karena tak ada ruang nyaman untuk memerah ASI. Ruang memerah ASI di kantor harusnya ada.

Dalam 9 jam, saya hanya bisa memerah sekali, itu juga musala yang antara tempat pria dan perempuannya tak ada pembatas. Hasilnya juga 90 ml, cukup sekali minum.

Berhubung musalanya kecil, saya jadi terburu-buru. Malu kalau jamaah pria datang walau saya pakai apron. Belum lagi suara pompa yang lumayan berisik, nanti malah mengganggu orang.

Kalau saya mau, saya bisa memerah di mal, samping kantor. Tapi, berapa lama waktu yang saya habiskan untuk jalan ke mal dan balik ke kantor. Lift turun naik di kantor aja ngantrenya minta ampun.

Sebenarnya ada ruang menyusui di gedung itu. Tapi untuk segedung. Lagi-lagi harus naik lift.

Nggak cuma masalah ruangan, pekerjaan yang menanti juga menjadi pikiran. Karena ingin cepat pulang jadinya pengen semua pekerjaan rampung.

Ketika anak pertama saya memerah dengan marmet. Pegalnya minta ampun tapi hasilnya nggak maksimal. Mungkin karena saya belum jago. Dan kali ini, saya menggunakan pompa elektrik. Enak sih, cepet dan hasilnya lumayan. Tapi ribetnya, nyari colokannya susah. Pakai baterai gampang soak.

Sebenarnya ada ruang buat makeup, cuma ada CCTVnya. Kalau saya lupa, ya repot. Lagipula ruangan itu sering ramai, jarang sepinya. Tapi, mau nggak mau saya akhirnya memerah di sana. Klo di musala boros krn harus pakai baterai, nyari yang ada colokan listriknya aja, hehehe..

Andaikan kantorku ada ruangan yang menyusui yang bisa membuat nyaman, senangnya. Apa iya bakal diadain, saat ini ada dua orang ibu yang baru melahirkan. Tapi saya tidak tahu apa menyusui atau tidak. Kalaupun hanya saya sendiri, karyawati lainnya nanti-nanti juga memerlukannya. Ini bukan karena saya ingin spesial, tapi hak perempuan.