
Tulisan ini sebenarnya kukirim untuk opini di salah satu media..tapi belum cocok. Jadi kuputuskan di blog saja š
Ini POV-ku tentang kondisi yang belakangan membuatku lelah. Tular menular penyakit yang tak ada hentinya di sekolah. Protes? Tak ada hasilnya. Yang bisa kulakukan saat ini berusaha melindungi anak-anak supaya tidak sering tertular.
Silakan dibaca š„°
Beberapa tahun terakhir, keluhan orangtua terdengar hampir seragam: āAnak-anak kok gampang sakit, cepat tertular, baru sembuh sebentar sakit lagi.ā Kadang mereka masih tampak lemas, tetapi tetap masuk sekolah karena takut tertinggal pelajaran atau ujian susulan yang menumpuk. Ada yang mencoba menenangkan diri dengan kalimat lama, āNamanya anak kecil, sering sakit nanti jadi kuat.ā
Masalahnya, keyakinan itu tidak selalu relevan dengan kondisi saat ini. Fenomena āanak sekarang lebih sering sakitā bukan sekadar kekhawatiran orangtua. Ada data kesehatan, ada faktor biologis, ada tekanan psikologis dalam sistem pendidikan, serta pola pikir lama yang belum menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.
Beban kesehatan yang meningkat
Dalam dua tahun terakhir, sejumlah laporan media serta pengamatan praktisi kesehatan mencatat kecenderungan yang sama. Kasus Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) pada anak terlihat meningkat di berbagai wilayah sejak 2023.
Pada saat yang sama, tantangan kesehatan lain belum sepenuhnya membaik. Menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024, angka stunting nasional masih berada di kisaran 19,8%. Ini menunjukkan bahwa masalah gizi masih menjadi beban jangka panjang.
Beberapa riset lokal juga menemukan adanya tren peningkatan kasus alergi dan asma pada anak, banyak di antaranya terkait faktor lingkungan seperti polusi udara, paparan alergen, serta infeksi berulang.
Di sejumlah daerah, infeksi cacing dan protozoa pun masih terbilang tinggi, menandakan bahwa beban penyakit menular pada anak belum benar-benar menurun.
Semua ini saling berkaitan. Secara biologis, infeksi berulang menyebabkan immune fatigueākondisi ketika sistem imun terus bekerja tanpa cukup waktu untuk pulih. Akibatnya, anak menjadi lebih mudah tertular, energi cepat habis, dan waktu pemulihan semakin panjang. Lebih jauh lagi, peradangan yang berulang dapat memengaruhi fungsi otak, terutama area yang mengatur fokus, memori, dan emosi.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa inflamasi kronis dapat mengganggu fungsi amigdala (pusat emosi) serta prefrontal cortex yang berperan dalam fokus dan memori. Beberapa penelitian lokal, termasuk dari universitas riset besar, menemukan bahwa anak dengan infeksi berulang berisiko lebih besar mengalami stres belajar dan gangguan kognitif. Ini memperjelas bahwa kesehatan anak dan prestasi akademik bukan dua hal terpisah, keduanya saling memengaruhi.
Efek domino yang jarang terlihat
Anak sakit ā tertinggal pelajaran ā stres ā imun turun ā sakit lagi. Siklus ini menekan fisik, mental, dan kemampuan belajarnya.
Namun sering kali hal ini dianggap wajar, bahkan dinormalisasi. Sebagian masyarakat masih memegang kepercayaan lama bahwa āanak sering sakit nanti kuat.ā
Padahal kondisi lingkungan saat ini sudah sangat berbeda. Polusi lebih tinggi, paparan patogen lebih beragam, tekanan belajar jauh lebih besar. Maka wajar jika keyakinan itu tak lagi relevan.
Saat membangun sekolah yang sehat
Mewujudkan lingkungan belajar yang sehat harus menjadi tanggung jawab bersama yakni sekolah, orangtua, pemerintah, dan komunitas.
1. Sekolah dapat menormalisasi istirahat saat sakit, memperbaiki ventilasi, memberi jadwal ujian susulan yang tidak menumpuk, serta membekali guru pemahaman tentang hubungan imunāotakāemosi.
2. Orangtua dapat memvalidasi emosi anak, memastikan ruang pemulihan yang cukup, dan berdiskusi dengan sekolah tentang kebijakan yang lebih manusiawi.
3. Pemerintah dan komunitas mempunyai peran kunci, mulai dari edukasi kesehatan, penyediaan fasilitas, dan penyusunan regulasi yang berpihak pada kesehatan anak.
Selama ini, perhatian publik sering tersedot pada isu gawai, game, atau perilaku remaja. Padahal infeksi berulang membawa dampak jangka panjang yang tak kalah serius, antara lain penurunan kemampuan belajar, stres emosional, penurunan produktivitas, hingga risiko potensi masalah mental yang sering tak disadari.
Sering sakit bukan tanda anak āakan kuatā, tetapi tanda tubuh mereka kewalahan. Jika dibiarkan, bukan mustahil kita sedang mencetak generasi yang lebih rentan secara kesehatan, dengan beban penyakit yang lebih tinggi ketika dewasa nanti. Alih-alih generasi emas, kita bisa tanpa sadar membentuk generasi yang kelelahan.
Penutup
Saya menulis ini bukan untuk menghakimi siapa pun. Saya hanyalah orangtua yang lelah melihat anak-anak saling bertukar penyakit hampir setiap pekan, sementara solusi paling sederhanaāistirahat saat sakit, memakai masker, ventilasi yang layak, dan manajemen ujian yang lebih fleksibelābelum sungguh-sungguh diterapkan.
Semoga tulisan ini dapat memicu diskusi yang lebih sehat. Anak-anak berhak tumbuh dan belajar di lingkungan yang aman, bukan dalam kondisi tular-menular yang tak berkesudahan.
Semangat sehat untuk anak-anak, dan untuk orangtua yang terus berjuang dalam sistem yang belum belum sepenuhnya ikut berubah.